Minggu, 25 September 2016

Pemeriksaan JVP

SKILL LAP
PEMERIKSAAN JVP




Disusun oleh :
Kinanty Sindiana
030.12.142


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RS ANGKATAN LAUT DR MINTOHARDJO
PERIODE 01 AGUSTUS – 08 OKTOBER 2016
PEMBAHASAN

Optimized by JPEGmini 3.9.20.0L 0x1f7d625b
2.1 DEFINISI
            Jugular vena pressure (JVP) atau tekanan vena jugularis adalah tekanan system vena yang dapat diamati secara tidak langsung. Pengukuran system sirkulasi vena sendiri dapat dilakukan dengan metode invasive memasukkan kateter yang dihubungkan dengan sphygmomanometer melalui vena subclavia dextra yang diterukan hingga ke vena centralis (vena cava superior). Namun, karena pertimbangan harga dan resiko yang besar, maka dilakukan metode non-invasif dengan menggunakan vena jugularis (externa dexter) sebagai pengganti sphygmomanometer dengan titik nol (zero point) di tengah atrium kanan. Titik ini kira-kira berada pada perpotongan antara garis tegak lurus dari angulus Ludovici ke bidang yang dibentuk kedua linea midaxillaris. Vena jugularis tidak terlihat pada orang normal dengan posisi tegak. Ia baru terlihat pada posisi berbaring di sepanjang permukaan musculus sternocleidomastoideus. JVP yang meningkat adalah tanda klasik hipertensi vena (seperti gagal jantung kanan). Peningkatan JVP dapat dilihat sebagai distensi vena jugularis, yaitu JVP tampak setinggi leher, jauh lebih tinggi daripada normal.1
            Distensibilitas vena-vena di leher dapat memperlihatkan adanya perubahan volume dan tekanan di dalam atrium kanan. Vena jugular merupakan salah satu vena yang terdapat di area leher. Terdapat 2 buah vena jugular yaitu vena jugular internal dan vena jugular eksternal. Untuk mendeteksi tekanan vena sentral (CVP) lebih reliabel melalui vena jugular interna daripada vena jugular eksterna. Namun vena jugular interna terletak lebih dalam dibelakang musculus sternokleidomastoideus sehingga sering tidak tampak dari permukaan kulit. Sedangkan vena jugular eksterna dapat lebih mudah melebar/membesar walaupun hanya dengan sedikit provokasi seperti dengan menahan nafas, menengokan leher, dan dengan pemakaian pakaian yang sempit di daerah leher atau diatas area thoraks. JVP normal adalah 5 +/- 2 cm H2O di atas sendi manubriosternal (angulus sternalis), saat pasien berbaring setengah tidur terlentang (300-450), di mana ujung atas kolom vena sistemik berada di bawah atau hanya terlihat sedikit di atas angulus sternalis. Ujung atas kolom vena akan terlihat lebih mudah jika pasien mengubah posisi lebih horizontal dan adapun sumber lain mengatakan bahwa dengan menggunakan refluks hepato jugularis.2
2.2 TUJUAN PENGUKURAN JVP
            Tujuan pengukuran JVP adalah untuk melihat adanya distensi vena jugularis dan memperkirakan tekanan vena sentral (CVP). Distensi vena-vena dileher dapat memperlihatkan adanya perubahan volume dan tekanan di dalam atrium kanan. Vena jugularis merupakan salah satu vena yang terdapat di area leher. Di leher terdapat 2 buah vena jugular yaitu vena jugular interna dan vena jugular eksterna. Vena jugular interna terletak lebih dalam dibelakang otot sternokleidomastoideus sehingga sering tidak tampak dari permukaan kulit. Padahal tekanan vena sentral (CVP) lebih reliabel melalui vena jugular interna daripada vena jugular eksterna. Sedangkan vena jugular eksterna dapat lebih mudah melebar/membesar saatmenahan nafas, dan menengokan leher.3
2.3 MENGUKUR TEKANAN VENA JUGULARIS
1.     Minta pasien untuk relax, tempat tidur ditegakkan agar tidak tegang. Dengan posisi 30o-450.
2.     Jangan menggunakan bantal, karena bentuk gelombang dari vena jugularis lebih baik dilihat dengan posisi kepala langsung menempel di tempat tidur.
3.     Memposisikan leher sampai dapat terlihat jelas.
4.     Jika cahaya ruangan sudah baik, tidak perlu lagi menggunakan lampu flash, senter, atau cahaya langsung lainnya.
5.     Yang pertama lihat denyut terlebih dahulu, kemudian menentukan apakah denyutan berasal dari arteri atau vena dengan menerapkan kriteria berikut untuk mengidentifikasi gelombang vena:
a.     Gelombang vena yang bifida, menjentik (flicking) seperti lidah ular.
b.     Naik jika menurunkan kepala ke tempat tidur, dan akan tenggelam jika mengangkat kepala dari tempat tidur.
c.     Berubah dengan respirasi, tenggelam hingga ke dada saat inspirasi.
d.      Tidak teraba. Hal ini baik untuk menggunakan vena jugular eksterna selama dapat melihat bentuk gelombang yang jelas di dalamnya.
e.     Umumnya, denyut yang menonjol itu berasal dari arteri karotis bukan dari JVP. Untuk membedakan, tekan/bendung daerah proksimal (di atas klavikula), sampai tampak jelas, kemudian tekan pada bagian distal (bawah dagu) dan lepas bendungan di proksimal sambil melihat ke leher. Dengan melakukan maneuver ini pada semua individu, JVP akan terlihat naik, sedangkan denyut arteri karotis tidak berubah.
6.     JVP dapat dinilai baik dari sisi kanan maupun dari sisi kiri. Namun dari beberapa sumber menyebutkan dari musculoskeletal anatomi, dan bekuan vena, pulsasi hanya dapat divisualisasikan di satu sisi. Jika tidak dapat mengidentifikasi JVP pada jugularis interna dengan jelas pada sisi kanan, maka periksalah juga sisi kiri.
7.     Jika tidak dapat melihat JVP, maka laporkan dengan mengatakan JVP tidak divisualisasikan dibandingkan dengan tidak ada JVP.
Setelah dapat menentukan atau melihat gelombang vena, maka kemudian mengukur tekanan vena jugularis :
1.     Identifikasi JVP pada titik tertinggi pulsasi, dengan memberi bendungan pada daerah  proksimal (di atas klavikula), sampai vena tampak jelas kemudian bendung pada bagian distal (dibawah dagu) dan bendungan di atas klavikula dilepas. Perhatikan ujung kolom darah di dalam vena.
2.     Gunakan kartu atau penggaris sacara horizontal dari titik denyut tertinggi hingga melewati penggaris yang telah diletakkan secara vertical tepat diatas angulus sterni.
3.     Tambahkan 5 cm (untuk sampai ke pusat atrium), dan kemudian melaporkan dengan mengatakan tekanan vena jugularis adalah 5 +.. cm H2O.

Table 1. Perbedaan antara denyut vena jugularis dengan arteri carotis
Vena jugularis
Arteri carotis
Berdenyut ke dalam
Berdenyut keluar
Dua puncak dalam satu siklus (pada irama sinus)
Satu puncak dalam satu siklus
Dipengaruhi oleh kompresi abdomen
Tidak dipengaruhi oleh kompresi abdomen
Dapat menggeser earlobes (bila tekanan vena meningkat)
Tidak menggeser earlobes

2.4 MEMAHAMI  GELOMBANG VENA JUGULAR
Description: fig1b.jpg
Gelombang vena jugular normal
Terdapat 2 gelombang positif “a” dan “v”, salah satu terjadi sebelum suara pertama jantung atau impuls karotis, dan salah satu setelahnya. Ketika denyut jantung adalah 80 atau kurang, akan sangat mudah untuk menentukan waktunya, apabila denyut nadi cepat maka perlu auskultasi sambil mengobservasi.
 “A wave” adalah kontraksi atrium (hilang pada atrial fibrilasi).
“C wave” adalah kontraksi ventrikel.
“X descent” adalah relaksasi atrial.
“V wave” adalah pengisian vena atrium (terjadi pada waktu yang sama dengan kontraksi ventrikel).
“Y descent” adalah pengisian ventrikel (tricuspid terbuka).
Gelombang vena jugular abnormal
1.     Elevasi gelombang “a”
Resistensi terhadap pengosongan atrium kanan, dapat terjadi pada atau di luar katup tricuspid. Contohnya, hipertensi pulmonal, rematik tricuspid stenosis, massa atrium kanan atau thrombus.
2.     Cannon gelombang “a”
Denyut vena yang besar positif selama gelombang “a”. hal ini terjadi ketika kontraksi atrium terhadap katup tricuspid yang tertutup selama AV disosiasi. Contohnya, atrium premature/junctional/ventricular, atrio-ventricular komplit (AV) blok, dan takikardi ventrikuler.
3.     Gelombang “a” hilang
Tidak ada kontraksi atrium, umumnya pada atrial fibrilasi.
4.     Elevasi gelombang “v”
Penyebab tersering adalah regurgitasi tricuspid (lancisi sign). Kontraksi pada ventrikel dan jika katup tricuspid tidak menutup dengan baik, sehingga aliran darah balik ke atrium kanan. Tricuspid regurgitasi, jika signifikan akan disertai dengan pulsatile liver  (terasa pada bagian bawah costal margin). Dapat terdengar murmur dari regurgitasi tricuspid berupa pansistolik murmur yang meningkat saat inspirasi.      
2.5 INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI PADA PENGUKURAN JVP
2.5.1 Indikasi
Fungsi dari pemeriksaan JVP adalah untuk melihat adanya distensi vena jugularis, memberikan informasi mengenai fungsi jantung, terutama ventrikel kanan, fungsi paru, dan merupakan komponen terpenting untuk menilai volume darah, serta untuk mencapai diagnosis dan memantau terapi untuk pasien dengan penyakit jantung. Beberapa sumber menyebutkan bahwa indikasi pengukuran JVP diklasifikasikan berdasarkan jenis masalahnya apakah factor cardiac atau non-cardiac, berikut adalah klasifikasinya:
Cardiac.
a.     Gagal jantung kanan sekunder, selanjutnya gagal jantung kiri.
b.     Gagal jantung kanan.
c.     Cor pulmonal.
d.     Stenosis katup tricuspid atau pulmonal.
e.     Efusi pericardial atau tamponade.
f.      Restriktif cardiomiopati atau constriktif pericarditis.
g.     Lesi pada jantung kanan.
Non-Cardiac
a.     Obstruksi vena cava superior.
b.     Peningkatan volume darah.
c.     Peningkatan intrathoraks sampai dengan tekanan positif ventilasi mekanik, maneuver valsava, penyakit obstruksi jalan nafas, tension pneumothoraks.
d.     Peningkatan tekanan intraabdomen sampai dengan kehamilan, obesitas, dan asites.
2.5.2      Kontraindikasi
Pengukuran JVP tidak dilakukan pada pasien dengan :
a.     SVC syndrome
b.     Infeksi pada area insersi.
c.     Koagulapati.
d.     Insersi kawat pacemaker.
e.     Disfungsi kontralateral diafragma.
f.      Pembedahan leher.





DAFTAR PUSTAKA

1.     Witteles, R. Neck veins & wave forms. Stanford medicine 25. Available at http://stanfordmedicine25.stanford.edu/the25/nvwf.html. Accessed 20th, September 2016.
2.     Natadidjaja, H. Anamnesis dan pemeriksaan fisik penyakit dalam. Jakarta: Binarupa aksara. 2012.
3.     Setiyohadi B, Subekti I. Pemeriksaan Fisis Umum. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid III. Jakarta: Interna Publishing;2014.



pleural effusion

LAPORAN KASUS
EFUSI PLEURA

Description: Description: Description: Logo FK






Disusun oleh :
Kinanty Sindiana
030.12.142

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSU ANGKATAN LAUT DR MINTOHARDJO
PERIODE 01 AGUSTUS – 08 OKTOBER 2016
LEMBAR PENGESAHAN

Kasus dengan judul :
EFUSI PLEURA

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
RSAL Dr. Mintohardjo periode 01 Agustus – 08 Oktober 2016

Disusun oleh :
Kinanty Sindiana
030.12.142
Telah diterima dan disetujui oleh dr. J.D. Dian Ariani, Sp.P selaku dokter pembimbing Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSAL Dr. Mintohardjo



Jakarta, 20 September 2016


Dr. J.D. Dian Ariani, Sp.P
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini.
            Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam, Program Studi Pendidikan Dokter Unicersitas Trisakti di Rumah Sakit TNI AL Dr. Mintohardjo, Jakarta. Pada penyusunan laporan kasus ini banyak pihak yang memberikan doa, dukungan, dan bimbingan kepada penulis. Oleh sebab itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. J.D. Dian Ariani, Sp.P selaku pembimbing yang senantiasa memberikan dukungan dan bimbingannya serta pihak yang membantu dalam penyelesaian laporan kasus ini.
            Penulis menyadari laporan kasus ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari kesalahan, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, tenaga kesehatan serta bagi mayarakat.



Jakarta, 20 September 2016
Penulis,


Kinanty Sindiana

DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………………….....ii
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………....iii
DAFTAR ISI…………………………………..………………………………………....iv
BAB I PENDAHULUAN…………...………………………………………………….....1
BAB II LAPORAN KASUS……………………………..………………………….….....2
            2.1 Identitas……………………………..……………………………....................3
            2.2 Anamnesis……………………………..……………………………................3
            2.3 Pemeriksaan Fisik……………………………..……………………………....5
            2.4 Pemeriksaan Penunjang……………………………..………………………...8
            2.5 Diagnosa……………………………..……………………………................10
            2.6 Diagnosa Banding……………………………..……………………………..10
            2.7 Rencana terapi……………………………..……………………………........10
            2.8 Prognosis……………………………..……………………………................10
            2.9 Resume……………………………..……………………………...................10
            2.10 Follow Up……………………………..……………………………............11
BAB III TINJAUAN PUSTAKA……………………...………………………………...13
            3.1 Anatomi dan Fisiologi Pleura……………………………..…………………13
            3.2 Definisi……………………………..……………………………...................16
            3.3 Epidemiology……………………………..…………………………….........16
            3.4 Jenis Cairan……………………………..……………………………............16
            3.5 Etiologi dan Klasifikasi……………………………..………………………..18
            3.6 Patofisiologi……………………………..……………………………...........20
            3.7 Manifestasi Klinis……………………………..……………………………..21
            3.8 Diagnosa……………………………..……………………………................21
            3.9 Penatalaksanaan……………………………..…………………………….....26
BAB IV ANALISIS KASUS…………………………….……………………………....28
DAFTAR PUSTAKA……………….…………………………………………………...31


BAB I
PENDAHULUAN

Pleura merupakan membrane serosa yang melingkupi parenkim paru, mediastinum, diafragma serta tulang iga. Pleura terdiri dari pleura visceral dan pleura parietal. Rongga pleura dalam keadaan normal berisi sekitar 10-20 ml cairan yang berfungsi sebagai pelicin agar paru dapat bergerak dengan leluasa saat bernafas. Akumulasi cairan melebihi volume normal dan menimbulkan gangguan jika cairan yang diproduksi oleh pleura parietal dan visceral tidak mampu diserap oleh pembuluh limfe dan pembuluh darah mikropleura visceral atau sebaliknya yaitu apabila produksi cairan melebihi kemampuan penyerapan.5,6
Efusi pleura adalah akumulasi cairan tidak normal di rongga pleura yang diakibatkan oleh transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura. Efusi pleura selalu abnormal dan mengindikasikan terdapat penyakit yang mendasarinya. Efusi pleura dibedakan menjadi eksudat dan transudate berdasarkan penyebabnya. Rongga pleura dibatasi oleh pleura visceral. Pada keadaan normal, sejumlah kecil (0,01 mL/kg/jam) cairan secara konstan memasuki rongga pleura dari kapiler di pleura parietal. Hampir semua cairan ini dikeluarkan oleh limfatik pada pleura parietal yang mempunyai kapasitas pengeluaran sedikitnya 0,2 mL/kg/jam. Cairan pleura terakumulasi saat kecepatan pembentukan cairan pleura melebihi kecepatan absorbsinya.1,2,3
Efusi pleura karena kuman M.tuberculosis sering ditemukan di Negara berkembang termasuk di Indonesia meskipun diagnosis pasti sulit ditegakkan. Efusi pleura dapat terjadi sebagai komplikasi dari berbagai penyakit. Pendekatan yang tepat terhadap pasien efusi pleura memerlukan pengetahuan insidens dan prevalens efusi pleura. Distribusi penyakit penyebab efusi pleura tergantung pada studi populasi. Penelitian yang pernah dilakukan di rumah sakit Persahabatan, dari 229 kasus efusi pleura pada bulan juli 1994 - juni 1997, keganasan merupakan penyebab utama diikuti oleh tuberculosis, empyema toraks dan kelainan ekstra pulmoner. Pada tahun 2012 juga dilakukan penelitian di Rumah Sakit Persahabatan, terdapat 119 pasien efusi pleura dimana didapatkan sebagian besar 55,5% pada pasien laki-laki dan kelompok usia terbanyak antara 40-59 tahun. Penyakit jantung kongestif dan sirosis hepatis merupakan penyebab tersering efusi transudatif sedangkan keganasan dan tuberculosis (TB) merupakan penyebab tersering efusi eksudatif. Mengetahui karakteristik efusi pleura merupakan hal penting untuk dapat menegakkan penyebab efusi pleura sehingga efusi pleura dapat ditatalaksana dengan baik.1,4

















BAB II
LAPORAN KASUS

2.1  IDENTITAS
Nama                           : Tn. Rochmat Adi Setiyo
Umur                           : 29 tahun
Jenis Kelamin              : Laki-laki
Agama                         : Islam
Alamat                                    : Jl. Citanduy Hilir no. 79, Cilacap.
Pekerjaan                     : SERTU
Pendidikan                  : SLTA
Status Pernikahan       : Menikah
Suku                            : Jawa
Tanggal masuk RS       : 24 Agustus 2016
Tanggal keluar RS       : 30 Agustus 2016
Ruang perawatan        : 3C, Pulau Sangeang
No. RM                      : 16.06.55

2.2  ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis yang dilakukan di RSU Angkatan Laut Dr. Mintohardjo pada tanggal 26 Agustus 2016, pukul 14.30 WIB.
A.             Keluhan Utama
Batuk sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
B.             Keluhan tambahan
Sesak, nyeri dada kanan, muntah, keringat malam, menggigil, pusing berputar, nafsu makan turun, berat badan turun.
C.            Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli paru RSU AL Dr. Mintohardjo dengan keluhan batuk sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Batuk yang dialami pasien ialah batuk kering. Keluhan tersebut timbul pada saat pasien merasa sesak nafas saat sedang berbaring dan kemudian berkurang pada saat pasien duduk dan menarik nafas dalam. Sesak nafas pasien juga dirasakan sejak 5 hari SMRS, hanya dirasakan saat berbaring dan tidak dipengaruhi aktifitas. Pasien juga mengeluh terdapat nyeri dada disebalah kanan yang timbul lebih dulu sebelum terjadi sesak dan batuk sejak 1 minggu SMRS. Nyeri dada kanan lebih terasa pada saat menarik nafas dan seperti di tusuk-tusuk, tidak menjalar, dan hanya timbul pada saat bangun pagi. Pasien mengkonsumsi obat amoxicillin, codein, dan gliseril guaikolat yang di dapat dari apotik namun pasien merasa tidak ada perubahan. Pasien mengaku 1 hari SMRS adanya keluhan batuk-batuk yang semakin parah hingga muntah makanan yang dimakan, keringat malam (+), menggigil (+), pusing berputar (+), dan nafsu makan menurun. BAB dan BAK dalam batas normal, pasien juga mengatakan dalam 2 bulan terakhir berat badan perlahan turun hingga 10 kg.
D.            Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat operasi hidrokel (+) saat balita, pasien tidak mempunyai riwayat kencing manis/DM (-) dan hipertensi (-), riwayat alergi terhadap makanan dan obat-obatan disangkal, riwayat penyakit parau atau jantung (-).
E.             Riwayat Keluarga
Tidak ada riwayat kencing manis/DM, asthma, hipertensi, dan keganasan pada keluarga pasien. Keluarga pasien tidak ada yang mempunyai keluhan yang sama dengan pasien.
F.             Riwayat Kebiasaan
Pasien merokok (+) 1 bungkus untuk 2 hari sejak 7 tahun yang lalu, minum teh 1x/hari, konsumsi kopi (-), alcohol (-).
G.            Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai tentara dengan jabatan sersan satu. Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk, namun ventilasi dan penerangan di rumah pasien baik.
2.3  PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 26 Agustus 2016, pukul 14.30 WIB)
A.             Keadaan Umum
Kesan sakit                                         : Tampak sakit sedang
Kesan  gizi                                          : Tampak gizi lebih
Kesadaran                                           : Compos mentis
Warna kulit                                         : Sawo matang, pucat (-), ikterik (-), sianosis (-)
Habitus                                               : Atletikus (mesomorf)
Umur sesuai taksiran                          : Sesuai dengan usia sebenarnya
Cara berjalan/berbaring/duduk : Aktif
Sikap penderita                                   : Kooperatif
B.             Tanda Vital
Suhu                : 37,9oC axiler
Nadi                : 76 x/menit, regular, kuat, isi cukup, equal
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Pernafasan       : 24 x/menit, teratur, tipe pernafasan abdominotorakal
Berat badan     : 75 kg
Tinggi badan    : 172 cm
C.            Status Generalis
Kulit : warna sawo matang, pertumbuhan rambut merata, suhu raba hangat.
Kepala : Normocefali, deformitas (-).
Wajah : Wajah simetris, warna kulit sawo matang, tidak ada kelainan kulit bermakna, serta tidak ada kelainan bentuk.
Mata : tidak ada edema palpebra, konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, pupil bulat, isokor, refleks cahaya langsung dan tidak langsung +/+, gerak bola mata aktif ke segala arah.
Hidung : bentuk normal, tidak ada deformitas, pernafasan cuping hidung (-), tidak tampak adanya sekret keluar dari hidung.
Telinga : daun telinga normotia, simetris, tidak ada deformitas, tidak ada benjolan, bengkak, dan hiperemis. Tidak ada nyeri tekan pada telinga, tidak ada sekret yang keluar dari telinga.
Mulut : tidak hiperemis, tidak sianosis, lidah normoglosia, oral hygiene baik, T1-T1, tidak hiperemis pada tonsil dan faring.
Leher : JVP 5+2cmH2O, pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), kaku kuduk (-).
Thoraks :
Inspeksi          : bentuk thoraks normal, sela iga normal, retraksi sela iga (-), gerakan nafas simetris, tipe pernafasan abdominothorakal, warna kulit sawo matang, kelainan kulit bermakna (-), spidernervi (-), iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi            : pergerakan dinding dada tidak ada yang tertinggal, vocal fremitus hemithoraks baik, nyeri tekan (-), tidak teraba thrill.
Perkusi           : redup pada daerah basal paru kanan,  batas paru dan hepar sulit dinilai, batas paru dan jantung kanan sulit dinilai, batas bawah paru dan lambung setinggi ICS 8 linea aksilaris anterior kiri dengan suara timpani, batas paru dan jantung kiri setinggi ICS 5 medial linea midclavicularis kiri dengan suara redup.
Auskultasi       : suara nafas vesikuler +/, rh-/-, wh-/-, S1 dan S2 regular, murmur (-), gallop (-).
Abdomen :
Inspeksi          : datar, tidak skafoid, warna kulit sawo matang, dilatasi vena (-), umbilicus normal, gerak dinding perut simetris, tipe pernafasan abdomino-thorakal, tidak ada kelainan kulit bermakna.
Auskultasi       : Bising usus (+) 3x/menit
Palpasi            : supel, massa (-), nyeri tekan dan lepas (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba, ballotment (-).
Perkusi            : Timpani pada ke-4 kuadran abdomen, shifting dullness (-).
Inguinal : Tidak dilakukan pemeriksaan.
Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan.
Ekstremitas :

Superior

Inferior


Kanan
Kiri
Kanan
Kiri
Otot
Gerakan
Kekuatan
Sianosis
Oedem
Jaringan parut
Lain-lain
Normotonus
Aktif
5
tidak ada
tidak ada
tidak ada
akral hangat (+)
keringat (-)
turgor kulit (n)
Normotonus
Aktif
5
tidak ada
tidak ada
tidak ada
akral hangat (+)
keringat (-)
turgor kulit (n)
Normotonus
Aktif
5
tidak ada
tidak ada
tidak ada
akral hangat (+)
keringat (-)
turgor kulit (n)
Normotonus
Aktif
5
tidak ada
tidak ada
tidak ada
akral hangat (+)
keringat (-)
turgor kulit (n)

2.4  PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM
Tanggal 24-8-2016
Hematologi
- Darah lengkap
Leukosit
Hasil

12.100/
Nilai Normal

5.000-10.000
Eritrosit
4,96juta/
4,6-6,2
Hemoglobin
14,4g/dL
14-16
Hematocrit
42%
42-48
Trombosit
409.000/
150.000-450.000
LED
42mm/jam
<10
- Hitung jenis
Basophil

1%

0-1
Eosinophil
4%
1-3
Batang
0%
2-6
Segmen
71%
50-70
Limfosit
15%
20-40
Monosit
9%
2-8
Kimia klinik
- Glukosa darah
GDS


92 mg/dL


<200
- Fungsi hati
AST (SGOT)
ALT (SGPT)

21
21

<35
<55
Tanggal 25-8-2016
Urine
- Kimia urin
Warna
Hasil

Kuning muda
Nilai normal

Kuning
Blood/eritrosit
-
-
Glukosa
-
-
Leukosit
-
-
Bilirubin
-
-
Keton
-
-
Berat jenis
1,025
1,003-1,031
pH
5,5
4,5-8,5
Protein
-
-
Urobilinogen
+-/normal
3,5-17
Nitrit
-
-
- Mikroskopik urin
Eritrosit

2-3/LPB

0-1
Leukosit
0-1/LPB
0-5
Epitel
+1/LPK
+
Bakteri
-
-
Silinder
-
-
Kristal
-
-
Tanggal 26-8-2016
Kimia klinik
- Fungsi ginjal
Ureum
Hasil

19 mg/dL
Nilai normal

17-43
Kreatinin
1,2 mg/dL
0,7-1,3
Cairan tubuh
- Analisa cairan tubuh
Jenis sampel


Cairan pleura

Warna
Kuning keruh

Bekuan
-

Jumlah sel leukosit
4900/mm3
0-50
Eritrosit
+
-
Rivalta
+
-
None
+
-
Pandy
+
-
- Hitung jenis sel
PMN

16%

40-90%
MN
84%
70-100%
LDH
744 U/I

Glukosa cairan
92 mg/dL
50-80
Protein cairan
5600 mg/dL
15-80
Tanggal 27-8-2016
Kimia klinik
- Glukosa darah
Glukosa darah sewaktu
Hasil

153 mg/dL
Nilai normal

<200












FOTO THORAKS
Pemeriksaan foto thoraks pada tanggal 23 agustus 2016
Deskripsi        :
Cor      : bentuk dan besar normal
Pulmo  : corakan paru baik, perselubungan basal paru kanan, sinus costofrenikus, diafragma kanan suram, tulang dan soft tissue baik
Kesan  : efusi pleura dextra

Pemeriksaan foto thoraks 26 agustus 2016, setelah dilakukan pungsi pleura.
Deskripsi        : - jantung membesar
                          - masih tampak gambaran efusi pleura kanan, belum tenang
2.5  DIAGNOSA
Efusi pleura dextra
2.6  DIAGNOSA BANDING
Pleuropneumonia, TB pleuritis
2.7 RENCANA TERAPI
- Infus RL 14 tpm
- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr
- Inj. Ranitidine 2 x 1 amp
- Ambroxol tab 3 x 1
- Pungsi cairan pleura
2.8  PROGNOSIS
Ad vitam                     : dubia ad bonam
Ad functionam            : dubia ad bonam
Ad sanationam            : dubia ad bonam
2.9  RESUME
Pasien laki-laki dengan inisial Tn. R berusia 29 tahun, datang ke poli paru RSU AL Dr. Mintohardjo dengan keluhan batuk sejak 5 hari SMRS. Batuk yang dialami pasien ialah batuk kering. Keluhan tersebut timbul pada saat pasien merasa sesak nafas saat sedang berbaring dan kemudian berkurang pada saat pasien duduk dan menarik nafas dalam. Sesak nafas pasien juga dirasakan sejak 5 hari SMRS, hanya dirasakan saat berbaring dan tidak dipengaruhi aktifitas. Pasien juga mengeluh terdapat nyeri dada disebalah kanan yang timbul lebih dulu sebelum terjadi sesak dan batuk sejak 1 minggu SMRS. Nyeri dada kanan lebih terasa pada saat menarik nafas dan seperti di tusuk-tusuk, tidak menjalar, dan hanya timbul pada saat bangun pagi. Pasien mengkonsumsi obat amoxicillin, codein, dan gliseril guaikolat yang di dapat dari apotik namun pasien merasa tidak ada perubahan. Pasien mengaku 1 hari SMRS adanya keluhan batuk-batuk hingga muntah makanan yang dimakan, keringat malam (+), menggigil (+), pusing berputar (+), dan nafsu makan menurun. BAB dan BAK dalam batas normal, pasien juga mengatakan dalam 2 bulan terakhir berat badan perlahan turun hingga 10 kg.
            Dari pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi nafas 24x.menit, suhu 37,9oC, paru : suara nafas vesikuler melemah pada hemithoraks kanan, perkusi redup pada basal hemithoraks kanan. Hasil foto rontgen thoraks didapatkan efusi pleura kanan.
2.10 FOLLOW-UP
Tanggal 24-8-2016
S
Batuk kering (+), nyeri dada (+), sesak nafas (+), keringat malam (+), BAB & BAK lancer, muntah (+) 1x, nafsu makan kurang
O
110/70 mmHg, 80x/menit, 22x/menit, 37,4oC
A
Efusi pleura dextra
P
Infus RL 14 tpm, inj. Ceftriaxone 2x1 gr, inj. Ranitidine 2x1 amp, Ambroxol tab 3x1
Tanggal 25-8-2016
S
Batuk kering (+), nyeri dada (+), sesak nafas (+), keringat malam (-), BAB & BAK lancar, muntah (-), menggigil (+), susah tidur (+)
O
120/80 mmHg, 88x/menit, 28x/menit, 36,3oC
A
Efusi pleura dextra
P
Infus RL 14 tpm, inj. Ceftriaxone 2x1 gr, inj. Ranitidine 2x1 amp, ambroxol tab 3x1
Tanggal 26-8-2016
S
Batuk kering (+), nyeri dada (+), sesak nafas (+), keringat malam (-), BAB cair, BAK lancer, muntah (-), mual (+), menggigil (-)
O
110/70 mmHg, 80x/menit, 28x/menit, 36,3oC
A
Efusi pleura dextra
P
Pungsi pleura (550cc)
Infus RL 14 tpm, inj. Ceftriaxone 2x1 gr, inj. Ranitidine 2x1 amp, ambroxol tab 3x1, 4FDC, curcuma 2x1
Tanggal 27-8-2016
S
Batuk (+) dahak putih, nyeri dada (<), sesak nafas (<), keringat malam (-), BAB & BAK lancar, muntah (-)
O
90/60 mmHg, 68x/menit, 26x/menit, 37,1oC
A
Efusi pleura dextra post pungsi
P
Infus RL 14 tpm, inj. Ceftriaxone 2x1 gr, inj. Ranitidine 2x1 amp, ambroxol tab 3x1, OAT 4FDC, curcuma 2x1
Tanggal 28-8-2016
S
Batuk (+) dahak putih, nyeri dada (<), sesak nafas (<), keringat malam (-), BAB & BAK lancar, muntah (-)
O
110/70 mmHg, 68x/menit, 22x/menit, 37oC
A
Efusi pleura dextra post pungsi
P
Infus RL 14 tpm, inj. Ceftriaxone 2x1 gr, inj. Ranitidine 2x1 amp, ambroxol tab 3x1, 4FDC, curcuma 2x1

Tanggal 29-8-2016
S
Batuk (+) dahak putih, nyeri dada (<), sesak nafas (<), keringat malam (-), BAB & BAK lancar, muntah (-)
O
110/70 mmHg, 70x/menit, 20x/menit, 36,3oC
A
Efusi pleura dextra post pungsi
P
Infus RL 14 tpm, inj. Ceftriaxone 2x1 gr, inj. Ranitidine 2x1 amp, ambroxol tab 3x1, OAT FDC 5 tab jam 22.00, curcuma 2x1
Tanggal 30-8-2016
S
Batuk kering (+), nyeri dada (<), sesak nafas (+), keringat malam (-), BAB cair (+) 1x, BAK lancar, muntah (-), pusing (+)
O
90/60 mmHg, 64x/menit, 24x/menit, 36,7oC
A
Efusi pleura dextra post pungsi
P
Infus RL 14 tpm, inj. Ceftriaxone 2x1 gr, inj. Ranitidine 2x1 amp, ambroxol tab 3x1, OAT FDC 5 tab jam 22.00, curcuma 2x1, nebulizer (ventolin:pulmicort:nacl) 1x.














BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 ANATOMI FISIOLOGI PLEURA
Pleura merupakan membrane serosa yang tersusun dari lapisan sel yang embriogenik berasal dari jaringan selom intraembrional dan bersifat memungkinkan organ yang diliputinya mampu berkembang, mengalami retraksi atau deformasi sesuai dengan proses perkembangan anatomis dan fisiologis suatu organisme. Pleura adalah suatu membrane tipis yang terdiri dari 2 (dua) lapisan yaitu pleura visceralis dan pleura parietalis. Secara histologis kedua lapisan ini terdiri dari sel mesothelial, jaringan ikat, dan dalam keadaan normal, berisikan lapisan cairan yang sangat tipis. Membrane serosa yang membungkus parenkim paru disebut pleura visceralis, sedangkan membrane serosa yang melapisi dinding thorak, diafragma dan mediastinum disebut pleura parietalis. Rongga pleura terletak antara paru dan dinding thorak. Rongga pleura dengan lapisan cairan yang tipis ini berfungsi sebagai pelumas antara kedua pleura. Kedua lapisan pleura ini bersatu pada hilus paru. Rongga pleura terisi cairan pleura dari pembuluh kapiler pleura, ruang interstisial paru, saluran limfatik intratoraks, pembuluh kapiler intratoraks, dan rongga peritoneum.7
Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara pleura visceralis dan parietalis, diantaranya:7,8
 
1.              Pleura Visceralis
Permukaan luarnya terdiri dari selapis sel mesothelial yang tipis <30 mm. Di bawah sel-sel mesothelial ini terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit, di bawahnya terdapat lapisan tengah berupa jaringan kolagen dan serat-serat elastic. Lapisan terbawah terdapat jaringan interstisial subpleura yang banyak mengandung pembuluh darah kapiler dari a.pulmonalis dan a. brakhialis serta pembuluh limfe menempel kuat pada jaringan paru.9
2.              Pleura Parietalis
Jaringan lebih tebal terdiri dari sel-sel mesothelial dan jaringan ikat (kolagen dan elastis). Dalam jaringan ikat tersebut banyak mengandung kapiler dari a. intercostalis dan pembuluf limfe, dan banyak reseptor saraf sensoris yang peka terhadap rasa sakit dan perbedaan temperature. Keseluruhan berasal dari n. intercostals dinding dada dan alirannya sesuai dengan dermatom dada.
Pleura normal memiliki permukaan licin, mengkilap, dan semitransparan. Ujung saraf sensorik berada di pleura parietal kostalis dan diafragmatika. Pleura kostalis diinervasi oleh saraf interkostalis, bagian tengah pleura diafragmatika oleh saraf frenikus. Stimulasi oleh inflamasi dan iritasi pleura parietal menimbulkan sensasi nyeri dada dan nyeri tumpul pada bahu ipsilateral. Tidak ada jaras nyeri pada pleura visceral walaupun secara luas diinervasi oleh nervus vagus dan trankus simpatikus.7
Jumlah cairan pleura tergantung mekanisme gaya Starling (laju filtrasi kapiler di pleura parietal) dan system penyaliran limfatik melalui stoma di pleura parietal. Menurut Stewart (1963), nilai rerata aliran limfatik dari satu sisi rongga pleura adalah 0,4mL/kgBB/jam pada orang normal. Akumulasi berlebih cairan pleura hhingga 300 mL disebut sebagai efusi pleura, terjadi akibat pembentukan cairan pleura melebihi kemampuan eliminasi cairan pleura.2,7
Cairan pleura mengandung 1500-4500 sel/mL yang terdiri dari makrofag (75%), limfosit (23%), sel darah merah, dan mesotel bebas. Cairan pleura normal mengandung protein 1-2 g/100mL. Elektroforesis cairan pleura menunjukkan bahwa kadar protein cairan pleura setara dengan kadar protein serum, namun kadar protein berat molekul rendah seperti albumin, lebih tinggi dalam cairan pleura. Kadar molekul bikarbonat cairan pleura 20-25% lebih tinggi dibandingkan kadar bikarbonat plasma, sedangkan kadar ion natrium lebih rendah 3-5% dan kadar ion klorida lebih rendah 6-9% sehingga pH cairan pleura lebih tinggi dibandingnkan pH plasma. Keseimbangan ionic ini diatur melalui transport aktif mesotel. Kadar glukosa dan ion kalium cairan pleura setara dengan plasma.7
Eliminasi akumulasi cairan pleura terutama diatur oleh system limfatik sistemik di pleura parietal. Cairan masuk ke dalam rongga pleura melalui arteriol interkostalis pleura parietal melewati mesotel dan kembali ke sirkulasi melalui stoma pada pleura parietal yang terbuka langsung menuju system limfatik pleksus limfatikus superfisialis terletak pada jaringan ikat di lapisan subpleura visceral dan bermuara di pembuluh limfe septa lobularis dan lobaris. Cairan pleura tidak masuk ke dalam pleksus limfatikus di pleura visceral karena pleura visceral lebih tebal dibandingkan pleura parietal sehingga tidak terjadi pergerakan cairan dari rongga pleura ke pleura visceral.7
Pleura berperan dalam system pernafasan melalui tekanan pleura yang ditimbulkan oleh rongga pleura. Tekanan pleura bersama dengan tekanan jalan nafas akan menimbulkan tekanan transpulmoner yang selanjutnya akan mempengaruhi pengembangan paru dalam proses respirasi. Pengembangan paru terjadi bila kerja otot dan tekanan transpulmoner berhasil mengatasi recoil elastic paru dan dinding dada sehingga terjadi proses respirasi.7,10


3.2 DEFINISI
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat cairan pleura dalam jumlah yang berlebih di dalam rongga pleura yang melebihi batas normal. Hal ini disebabkan ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi cairan pleura. Normalnya, cairan dari kapiler pleural parietal masuk ke rongga pleura. Kemudian, diserap oleh system limfe. Selain itu, cairan juga masuk melalui pleura visceral dari rongga interstitial dan melalui lubang kecil di diafragma dari rongga peritoneum. System limfatik akan menyerap hingga 20 kali cairan yang berlebih diproduksinya. Namun, ketika terjadi penurunan absorbsi cairan oleh system tersebut ataupun produksinya yang sangat banyak maka terjadilah efusi pleura.11
3.3 EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, 1,5 juta kasus efusi pleura terjadi tiap tahunnya. Sementara pada populasi umum secara internasional, diperkirakan tiap 1 juta orang, 3000 orang terdiagnosa efusi pleura. Estimasi prevalensi efusi pleura adalah 320 kasus per 100.000 orang di Negara-negara industry, dengan distibrusi etiologi terkait dengan prevalensi penyakit yang mendasarinya. Secara umum, kejadian efusi pleura adalah sama antara kedua jenis kelamin. Namun, penyebab tertentu memiliki kecenderungan seks. Sekitar dua pertiga dari efusi pleura ganas terjadi pada wanita. Efusi pleura ganas secara signifikan berhubungan dengan keganasan payudara dan ginekologi. Sedangkan pada efusi pleura karena pakreatitis kronik tersering pada laki-laki karena penyebab dari konsumsi alcohol. Dari penelitian tahun 2012 di Rumah Sakit Persahabatan terdapat 119 pasien efusi pleura dengan pasien terbanyak pada laki-laki (55,5%) dibanding perempuan (44,5%) dan kelompok umur terbanyak antara 40-59 tahun, umur termuda 17 tahun dan umur tertua 80 tahun.1,13
3.4 JENIS-JENIS CAIRAN
Ada beberapa jenis cairan yang bisa berkumpul di dalam rongga pleura antara lain darah, pus, cairan seperti susu dan cairan yang mengandung kolesterol tinggi. Adapun jenis-jenis cairan yang terdapat pada rongga pleura antara lain :14
a.              Hidrothoraks
Pada keadaan hipoproteinemia berat (sindroma nefrotik, ankilostomiasis berat, kekurangan kalori-protein berat, dll) bisa timbul transudate (cairan encer dengan warna dan konsistensi seperti serum, dan tidak mengandung protein sehingga tes Rivalta juga akan negative). Dalam hal ini, penyakitnya disebut hidrothoraks dan biasanya ditemukan bilateral. Sebab-sebab lain yang mungkin adalah kegagalan jantung kanan, sirosis hati dengan asites, serta sebagai salah satu trias dari sindroma meig (fibroma ovarii, asites, dan hidrothoraks).14
b.              Hemothoraks
Hemothoraks adalah adanya darah di dalam rongga pleura. Biasanya terjadi karena trauma thoraks. Penyebab lainnya hemothoraks adalah infark paru, keganasan, kebocoran aneurisma aorta, dan gangguan pembekuan darah.9,14
c.              Piothoraks atau Empiema
Bila karena suatu infeksi primer maupun sekunder cairan pleura patologis ini akan berubah menjadi pus, maka keadaan ini disebut piothoraks atau empyema. Pada setiap kasus pneumonia perlu diingat kemungkinan terjadinya empyema sebagai salah satu komplikasinya.14
d.              Chylothoraks
Bila karena suatu proses keganasan dalam mediastinum terjadi erosi ductus thoracicus yang disertai fistulasi ke dalam rongga pleura, akan timbul chylothoraks. Chylothoraks adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan cairan limfe (putih kekuning-kuningan seperti susu) pada rongga pleura. Kelainan ini memang jarang ditemukan, namun adapun sebab-sebab yang dapat menyebabkan chylothoraks antara lain:14
·      Kongenital, sejak lahir tidak terbentuk (atresia) duktus thorascikus, tetapi terdapat fistula antara dductus thorasikus rongga pleura.
·      Trauma, yang berasal dari luar seperti penetrasi pada leher dan dada, atau pukulan pada dada (dengan/tanpa fraktur). Yang berasal dari efek operasi daerah torakolumbal, reseksi esophagus 1/3 tengah dan atas, operasi leher, operasi kardiovaskular yang membutuhkan mobilisasi arcus aorta.
·      Obstruksi, karena limfoma malignum, metastasis karsinoma ke mediastinum, granuloma mediastinum (tuberculosis, histoplasmosis). Penyakit-penyakit ini memberi efek obstruksi dan juga perforasi terhadap duktus torasikus secara kombinasi.14
3.5 ETIOLOGI dan KLASIFIKASI
Efusi pleura merupakan hasil dari ketidakseimbangan tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik. Efusi pleura merupakan indicator dari suatu penyakit paru atau non-pulmonary, dapat bersifat akut atau kronis.15
Efusi pleura umumnya diklasifikasikan berdasarkan mekanisme pembentukan cairan dan kimiawi cairan menjadi 2 yaitu atas transudate atau eksudat. Transudate hasil dari ketidakseimbangan antara tekanan onkotik dengan tekanan hidrostatik, sedangkan eksudat adalah hasil dari peradangan pleura atau drainase limfatik yang menurun. Dalam beberapa kasus mungkin terjadi kombinasi antara karakteristik cairan transudate dan eksudat. Efusi transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran kadar laktat dehydrogenase (LDH) dan protein dalam cairan pleura.9,15
Klasifikasi berdasarkan mekanisme pembentukan cairan:
a.              Transudat
Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu adalah transudate. Karakteristik transudate adalah rendahnya konsentrasi protein dan molekul besar lainnya. Biasanya hal ini disebabkan karena meningkatnya tekanan kapiler sistemik, meningkatnya tekanan kapiler pulmoner, menurunnya tekanan koloid osmotic dalam pleura, dan menurunnya tekanan intra pleura. Efusi pleura transudate disebabkan oleh :9,11
·      Gangguan kardiovaskuler
Akibat terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler dinding dada sehingga terjadi peningkatan filtrasi pada pleura parietalis. Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis, sedangkan penyebab lainnya adalah pericarditis konstriktiva dan sindroma vena cava superior.9
·      Hipoalbunemia
Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotic protein cairan pleura dibandingkan dengan tekanan osmotic darah. Terjadi pada penyakit ginjal (efusi bilateral), gangguan hati, dan infeksi kronis.9
·  Asites pada sirosis hati


·      Meig’s syndrome
Ditandai dengan adanya asites dan efusi pleura pada penderita tumor jinak ovarium, fibromiotoma uterus, tumor ovarium ganas.11
b.              Eksudat
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein transudate. Hal ini karena perubahan factor local sehingga pembentukan dan penyerapan cairan pleura tidak seimbang. Efusi pleura eksudat disebabkan oleh :9,11
·      Virus dan mikoplasma : virus coxsackie, rickettsia, chlamydia.
·      Bakteri piogenik : streptococcus pneumonie, staphylococcus aureus, pseudomonas, hemophillus, e. coli, bakteriodes, fusobakterium, dll.
·      Fungi : Aktinomikosis, aspergillus, criptococcus.
·      Mycobacterium tuberculosis : komplikasi yang paling sering terjadi karena robeknya focus subpleural sehingga tuberkuloprotein yang terdapat dalam jaringan nekrosis perkejuan masuk ke dalam rongga pleura. Efusi karena MTB biasanya unilateral.
·      Keganasan : ca paru, ca mammae.
·      Efusi parapneumonia adalah efusi yang menyertai pneumonia bakteri, abses paru atau bronkiektasis. Terdapat dominan sel PMN.

Tabel 1. Perbedaan biokimia efusi pleura9
Parameter
Transudat
Eksudat
Warna
Jernih
Keruh
BJ
<1,016
>1,016
Jumlah sel
Jenis sel
Sedikit
PMN <50%
Banyak (>500sel/mm2)
PMN >50%
Rivalta
-
+
Glukosa
60mg/dL (GD plasma)
60mg/dL (bervariasi)
Protein
<3g/dL
>3g/dL
Ratio protein cairan/plasma
<0,5
>0,5
LDH
<200IU/dL
>200IU/dL
Rasio LDH cairan/plasma
<0,6
>0,6



3.6 PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal, selalu terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler pada pleura parietalis tetapi cairan ini segera di reabsorbsi oleh saluran limfe, sehingga terjadi keseimbangan antara produksi dan reabsorbsi. Setiap harinya diproduksi cairan pleura  ml yang dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik dan osmotic kapiler sistemik dengan kapiler pulmoner. Kemampuan untuk reabsorbsinya dapat meningkat sampai 20 kali. Apabila antara produk dan reabsorbsinya tidak seimbang, dimana produksi meningkat atau reabsorbsi menurun, maka akan timbul efusi pleura.12
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini terjadi karena perbedaan tekanan osmotic plasma dan jaringan interstitial submesothelial, kemudian melalui sel mesothelial masuk ke dalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura.9
Peningkatan produksi cairan pleura dapat terjadi pada beberapa keadaan. Diantaranya :9,13
·      Meningkatnya tekanan intravaskuler pada pleura sehingga meningkatkan pembentukan cairan pleura. Dapat terjadi pada penyakit gagal jantung kanan, sindroma vena kava cuperior, gagal jantung kiri.
·      Hipoproteinemia yang menyebabkan transudasi cairan kedalam rongga pleura seperti pada penyakit hati dan ginjal.
·      Obstruksi saluran limfe pada pleura parietalis, sehingga cairan tidak dapat tersalurkan keluar rongga pleura. Contohnya pada peningkatan tekanan vena sistemik akan menghambat pengosongan cairan limfe.
·      Robeknya focus kaseosa subpleura ke ruang pleura pada penyakit TB paru.
·      Adanya perubahan pada permeabilitas membrane pleura (inflamasi, keganasan, emboli paru).
·      Berkurangnya tekanan pada rongga pleura sehingga menyebabkan terhambatnya ekspansi paru (atelectasis, mesothelioma).
·      Meningkatnya cairan peritoneal yang disertai oleh migrasi sepanjang diafragma melalui jalur limfatik ataupun defek structural (sirosis, dialisa peritoneal).
3.7 MANIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala yang timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika paru terganggu. Gejala yang paling sering timbul adalah sesak, berupa rasa penuh dalam dada atau dipsnea. Nyeri bisa timbul akibat efusi yang banyak diikuti dengan batuk yang nonproduktif, nyeri dada berupa nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul. Adanya gejala-gejala umum seperti keringat malam, sensasi menggigil, malaise, dan penurunan berat badan. Dan beberapa gejala-gejala penyerta penyakit penyebab seperti nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberculosis), berat badan menurun pada neoplasma, ascites pada sirosis hepatis. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan.11
3.8 DIAGNOSA
Dalam menegakkan diagnosis efusi pleura, dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik dahulu, kemudian dilanjutkan pemeriksaan penunjang.
a.              Anamnesis
Keluhan utama penderita adalah nyeri dada sehingga penderita membatasi pergerakan rongga dada dengan bernafas pendek atau tidur miring ke sisi yang sakit. Selain itu sesak nafas terutama bila berbaring ke sisi yang sehat disertai batuk-batuk dengan atau tanpa dahak. Berat ringannya sesak nafas ini ditentukan oleh jumlah cairan efusi. Keluhan yang lain adalah sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.11
b.              Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi didapatkan pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih cembung. Pada palpasi gerakan dada yang tertinggal dan fremitus menurun atau menghilang. Perkusi, didapatkan bagian yang ada cairan didapatkan perkusi redup. Pada auskultasi suara nafas melemah hingga menghilang
Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernafasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).
Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian atas mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler melemah dengan rhonki. Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.11
c.              Pemeriksaan penunjang
1.              Foto thoraks (X-Ray)
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk bayangan kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi dari pada bagian medial. Cairan dalam pleura bisa juga tidak membentuk kurva, karena terperangkap atau terlokalisasi. Keadaan ini sering terdapat pada daerah bawah paru-paru yang berbatasan dengan permukaan atas diafragma. Gambaran sudut costofrenikus tumpul pada posisi lateral jika cairan lebih dari 50mL. Pada posisi posteroanterior (PA) sudut costofrenikus tumpul apabila cairan pleura lebih dari 200mL. Pada posisi anteroposterior (AP) terlihat gambaran efusi jika cairan lebih dari 300mL.
Hal lain yang dapat terlihat dari foto dada pada efusi pleura adalah terdorongnya mediastinum pada sisi yang berlawanan dengan cairan. Di samping itu gambaran foto dada dapat juga menerangkan asal mula terjadinya efusi pleura yakni bila terdapat jantung yang membesar, adanya masa tumor, adanya densitas parenkim yang lebih keras pada pneumonia atau abses paru.
2.              Computed Tomography Scan (CT Scan)
CT Scan dada akan terlihat adanya perbedaan densitas cairan dengan jaringan sekitarnya. Pada CT Scan, efusi pleura bebas diperlihatkan sebagai daerah berbentuk bulan sabit di bagian yang tergantung dari hemithoraks yang terkena. Permukaan efusi pleura memiliki gambaran cekung ke atas karena tendensi recoil dari paru-paru.
3.              Ultrasonografi
Pemeriksaan dengan ultrasonografi pada pleura dapat menentukan adanya cairan dalam rongga pleura. Pemeriksaan ini sangat membantu sebagai penuntun waktu melakukan aspirasi cairan terutama pada efusi yang terlokalisasi.
4.         Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat membantu dalam mengevaluasi etiologi efusi pleura. Nodularity dan / atau penyimpangan dari kontur pleura, penebalan pleura melingkar, keterlibatan pleura mediastinal, dan infiltrasi dari dinding dada dan / diafragma sugestif penyebab ganas kedua pada CT Scan dan MRI.
5.              Thorakosentesis
Aspirasi cairan pleura (thorakosentesis) sebagai sarana diagnostic maupun terapeutik. Untuk menentukan jenis efusi transudate atau eksudat dan untuk analisis caira. Pelaksanaannya sebaiknya dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru sela iga garis aksilaris posterior dengan jarum abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspirasi. Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang dari pada satu kali aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema paru akut. Edema paru dapat terjadi karena paru-paru mengembang terlalu cepat. Mekanisme sebenarnya belum diketahui betul, tapi diperkirakan karena adanya tekanan intra pleura yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan aliran darah melalui permeabilitas kapiler yang abnormal.11
Komplikasi lain thorakosintesis adalah pneumothoraks, hemothoraks, emboli udara yang agak jarang terjadi, dan laserasi pleura visceralis, tapi biasanya ini akan sembuh sendiri dengan cepat. Bila laserasinya cukup dalam, dapat menyebabkan udara dari alveoli masuk ke vena pulmonalis, sehingga terjadi emboli udara.9
Melakukan diagnosis cairan pleura dapat dilakukan pemeriksaan :
·               Warna cairan
Biasanya cairan pleura berwarna agak kekuning-kuningan (serous-santokrom). Bila agak kemerah-merahan, ini dapat terjadi pada trauma, infark paru, keganasan, dan adanya kebocoran aneurisma aorta. Bila kuning kehijauan dan agak purulent, ini menunjukan adanya empyema. Bila merah coklat ini menunjukkan adanya abses karena amuba.9
·      Karakteristik cairan pleura
Kriteria penentuan efusi pleura tipe eksudat atau trannsudat dapat dilihat pada kriteria Light. Tipe eksudat, minimal 1 kriteria terpenuhi. Sedangkan transudate, jika semua point tidak terpenuhi, seoerti berikut ini:11,16
-       protein cairan pleura/serum protein >0,5
-       LDH cairan pleura/LDH serum >0,6
-       LDH cairan pleura: lebih dari 200 IU atau 2/3 batas atas nilai normal di dalam serum
·               Biokimia
Secara biokima diperiksakan juga pada cairan pleura:9
- Kadar pH dan glukosa. Biasanya merendah pada penyakit-penyakit infeksi, arthritis reumatodi, dan neoplasma.
- Kadar amylase, biasanya meningkat pada pantreatitis, dan metastasis adenokarsinoma
·               Sitologi
Pemeriksaan sitology terhadap cairan pleura sangat penting untuk diagnostic penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis atau dominasi sel-sel tertentu.9
Sel neutrophil  : menunjukan adanya infeksi akut
Sel limfosit : menunjukan adanya infeksi kronik seperti pleuritis tuberkulosa atau limfoma maligna
Sel mesotel : bila jumlahnya meningkat, ini menunjukan adanya infark paru. Biasanya juga ditemukan banyak sel eritrosit.
Sel mesotel maligna : pada mesothelioma.
Sel-sel besar dengan banyak inti : pada artritis rheumatoid.
Sel L.E : pada lupus eritematous sistemik.
Sel maligna : pada paru/metastase.
·               Bakteriologi
Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat mengandung mikroorganisme, apalagi bila cairannya purulent, (menunjukan empyema). Efusi yang purulent dapat mengandung kuman-kuman yang aerob atau anaerob. Jenis kuman yang sering ditemukan dalam cairan pleura adalah: Pneumokokkus, E.coli, Klebsiela, Pseudomonas, Enterobacter. Pleuritis tuberkulosa, biakan cairan terhadap kuman tahan asam hanya dapat menunjukkan yang positif sampai 20%-30%.9
·               Adenosine deaminase (ADA)
Pemeriksaan kadar ADA cairan pleura mudah dan tidak mahal. ADA merupakan suatu enzim limfosit T predominan yang berperan sebagai katalisator konversi adenosine dan deoxyadenosine menjadi inosine dan deoxynosin. ADA adalah suatu penanda yang paling banyak digunakan pada kasus pleuritis TB. Nilai batasan kadar ADA cairan pleura yang banyak digunakan adalah 40U/L. Pemeriksaan ADA memiliki hasil positif palsu pada efusi pleura nontuberkulosis meliputi efusi parapneumonia, empyema, dan keganasan. Jika kadar ADA >70U/L maka diagnosis pleuritis TB dapat ditegakkan dan pleuritis TB dapat disingkirkan jika kadar ADA <40U/L. Pada kasus kadar ADA antara 40-70U/L, diperlukan biopsy pleura atau torakoskopi untuk menegakkan pleuritis TB dan menyingkirkan penyakit lain.18
·               Gamma Interferon / IFN
Pemeriksaan kadar  IFN sangat efisien untuk membedakan efusi pleura tuberculosis dan efusi pleura non-tuberkulosis.  IFN adalah sitokin yang dilepaskan dari sel limfosit T CD4+ yang teraktivasi yang dapat meningkatkan aktivasi mikrobaktesidal dan makrofag. Pemeriksaan  IFN lebih jarang digunakan dari pada pemeriksaan ADA karena lenih mahal dan belum ada nilai batasan yang jelas untuk menegakkan diagnosis pleuritis TB.18
·               Biopsi pleura
Pemeriksaan histopatologi satu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat menunjukan 50%-75% diagnosis kasus-kasus pleuritis tuberculosis dan tumor pleura, dan merupakan standar baku diagnosis. Ditemukannya granuloma pada pleura parietalis menunjukkan pleuritis TB. Jika granuloma tidak ditemukan, harus dilakukan pemeriksaan BTA pada bahan biopsy pleura. Lebih dari 95% pasien pleuritis granuloma memiliki tuberculosis. Biopsy jarang diindikasikan karena diagnosis pleuritis TB dapat dengan mudah ditegakkan dengan pemeriksaan kadar ADA >70U/L. Biopsi pleura dapat berguna untuk diagnose pleuritis TB dan menyingkirkan penyakit pleura lainnya jika kadar ADA 40-70 U/L.9
3.9 PENATALAKSANAAN
Efusi yang terinfeksi perlu segera dikelurakan dengan memakai pipa intubasi melalui sela iga. Bila cairan pusnya kental sehingga sulit keluar atau bila empiemanya multilokular, perlu tindakan operatif. Mungkin sebelumnya dapat dibantu dengan irigasi cairan garam fisiologi atau larutan antiseptic (betadine). Pengobatan secara sistemik hendaknya segera diberikan, tetapi ini tidak berarti bila tidak diiringi pengeluaran cairan yang adekuat. Untuk mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah aspirasi (pada efusi pleura maligna), dapat dilakukan pleurodesis yakni melengketnya pleura viseralis dan pleura parietalis. Zat-zat yang dipakai adalah tetrasiklin (terbanyak dipakai) bleomisin, korinebakterium parvum, tio-tepa, 5-fluorourasil. Penatalaksanaan berdasarkan penyakit dasarnya :9,11
a.              Gagal jantung
Pada pasien ini, terapi terbaik dengan diuretic. Jika setelah pemberian efusi menetap, diagnostic torakosintesis perlu dilakukan. Selain itu, torakosintesis dilakukan pada efusi satu sisi, disertai demam, atau nyeri dada pleuritik. Jika nilai NT-proBNP cairan pleura >1500 pg/cc, mengartikan bahwa efusi terjadi karena gagal jantung.
b.              Empyema atau efusi parapneumonia
Berkaitan dengan pneumonia bakteria, abses paru, bronkiektasis. Terapi pasien ini dengan torakosintesis, pemberian antibiotic dan drainase.
c.              Hidrothoraks hepatic
Terjadi pada 5% pasien sirosis dan asites karena perpindahan cairan dari rongga peritoneum ke rongga pleura melalui lubang kecil di diafragma. Posisi efusi di sebelah kanan.
d.              Pleuritis TB
Disertai gejala demam, penurunan BB, dipsneu, dan nyeri dada pleuritis. Penatalaksanaan dengan pemberian obat anti TB minimal 9 bulan dan kortikosteroid dosis 0,75-1 mg/kgBB/hari selama 2-3 minggu yang mana dosis akan diturunkan bertahap, torakosintesis jika terdapat sesak atau efusi lebih tinggi dari sela iga III.
e.              Kilothoraks
Penyebabnya yang tersering  ialah trauma. Hasil dari torakosintesis, akan terlihat cairan seperti susu dan trigliserida  1,2 mmol/L (100 mg/dL). Penatalaksanaanya dengan pemasangan chest tube dan pemberian okreotida. Jika gagal dilakukan pleuroperitone al shunt.
f.               Hemothoraks
Penyebabnya juga tersering pada trauma. Jika dalam cairan pleura, terlihat darah, perlu dilakukan pemeriksaan hematocrit cairan pleura. Hasil hematocrit  ½ dibandingkan dengan hasil dari darah tepi, berarti mengarah ke hemothoraks. Tata laksana hemothoraks, yaitu dengan chest tube torakostomi. Bila perdarahan > 200 ml/jam, torakotomi atau torakoskopi menjadi pilihan pertama.
g.              Keganasan
Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui lokasi tumor dan jenisnya. Urutan keganasan penyebab efusi pleura mulai dari yang tersering, antara lain tumor paru, payudara, limfoma, gastrointestinal, urogenital dan lainnya.
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini seorang pasien berinisial Tn. R berusia 29 tahun tanggal 24 agustus 2016 datang ke Poli Paru RSU AL Dr. Mintohardjo. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan diagnosis pasien ini adalah efusi pleura dextra dengan diagnose banding pleuropneumonia dan pleuritis TB. Dilihat dari gejala klinis pasien di mana terdapat nyeri dada pada sebelah kanan seperti ditusuk. Nyeri dada tidak menjalar dan terasa memberat saat menarik nafas dan batuk. Sesak terutama dirasakan saat dalam posisi berbaring kemudian pasien batuk-batuk  tanpa ada dahak (kering) lalu terasalah nyeri pada dada kanan sejak 5 hari SMRS. Pasien juga mengeluh adanya keringat pada malam hari disertai menggigil, kepala terasa pusing, nafsu makan menurun, dan muntah makanan yang dimakan sejak 1 hari SMRS. Pasien mangatakan dalam 2 bulan terakhir berat badan mengalami penurunan hingga 10 kg. Dari hasil pemeriksaan fisik  yang telah dilakukan pada saat pasien datang ke poli, didapatkan gerakan dada sebelah kanan tertinggal yang diakibatkan cairan dalam rongga pleura yang banyak menghambat paru untuk mengembang, perkusi redup pada basal paru kanan dikarenakan akumulasi cairan dalam rongga pleura, serta suara nafas vesicular yang menurun pada basal paru kanan juga dikarenakan akumulasi cairan pleura sehingga suara nafas yang terdengar melemah, serta didukung hasil pemeriksaan penunjang seperti rontgen thoraks yang menunjukkan adanya efusi pleura sisi kanan.
Dalam keadaan normal, cairan dalam rongga pleura akan terfiltrasi melalui kapiler pada pleura parietalis tetapi cairan ini segara direabsorpsi oleh saluran limfe, sehingga terjadi keseimbangan antara produksi dan reabsorbsi. Masuknya cairan ke dalam rongga pleura akan memperbanyak total cairan rongga pleura dan menyebabkan ketidakseimbangan antara pembentukan dan absorbsinya.16
Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tanggal 26 agustus 2016 setelah dilakukan tindakan pungsi pleura sebanyak 550cc didapatkan kesadaran pasien compos mentis, tampak sakit sedang, tekanan darah 110/70mmHg, nadi 76 x/menit, suhu 37,9oC, dan pernafasan 24x/menit. Pemeriksaan paru didapatkan gerakan dinding dada simetris, perkusi pada basal paru kanan masih redup dikarenakan mungkin masih adanya akumulasi cairan dalam rongga pleura, dan suara nafas vesikuler basal kanan sedikit melemah ini juga akibat dari akumulasi cairan yang masih ada.
Pemeriksaan foto thoraks memperlihatkan masih terdapat gambaran air fluid level pada hemithoraks kanan. Dari pemeriksaan analisis cairan pleura di dapatkan kejernihan keruh, warna kuning keruh, jumlah sel leukosit meningkat, eritrosit dan rivalta positif, PMN menurun, protein cairan meningkat, LDH lebih dari 2/3 batas atas LDH serum yang menunjukkan cairan eksudat, serta glukosa cairan sedikit meningkat. Dari hasil ini menandakan bahwa etiologi dari efusi pleura pada pasien mengarah pada infeksi bakteri, yaitu bakteri M. Tuberculosa. Sehingga sebagai tindak lanjut untuk pemberian OAT.
Masuknya kuman TB pada paru awalnya tidak menimbulkan gejala karena imun tubuh akan menghalangi perkembangan kuman TB dalam makrofag, namun jika keadaan kesehatan tubuh menurun mengakibatkan system imun penderita melepaskan kuman TB yang sudah diperangkan tersebut dan dapat berkembang serta menyebar ke organ lain. Gejala batuk timbul dikarenakan mekanisme tubuh untuk mengeluarkan jaringan perkejuan dalam sarang pneumonik. Jika sarang tersebut terletak di subpleural akan menyebabkan robeknya pleura visceral yang berakibat perkejuan tersebut masuk ke dalam rongga pleura yang di sebut efusi pleura. Efusi pleura minimal mungkin tidak akan menimbulkan gejala namun jika proses tersebut berlangsung terus-menerus maka gejala sesak nafas akan dialami pasien, rongga pleura yang terisi banyak cairan akan menghambat gerakan paru ipsilateral untuk mengembang sehingga udara yang masuk kedalam paru menjadi sedikit, dan menimbulkan gejala sesak.17
Penatalaksanaan pada pasien ini dengan menggunakan obat anti tuberculosis (OAT) 4FDC (Fixed dose combination) yang terdiri dari 4 macam obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol dalam 1 kemasan sebanyak 5 tablet yang di minum setiap hari selama 2 bulan dan untuk 4 bulan berikutnya menggunakan 2 macam obat INH dan rifampisin dalam 1 kemasan seminggu tiga kali. Pasien juga diberikan ambroxol tab sebagai mucolytic agar dahak dapat di keluarkan, dan Ranitidine untuk mengatasi keluhan gastritis, ceftriaxone untuk mengobati dan mencegah infeksi yang disebabkan oleh bakteri, curcuma untuk membantu memelihara kesehatan fungsi hati dan membantu memperbaiki nafsu makan. Pasien Tn. R ini dirawat inap selama 7 hari dan dilanjutkan dengan rawat jalan. Hal ini dilakukan karena secara klinis hemodinamik pasien sudah stabil, pemberian obat dapat dilakukan secara oral, pasien sudah dapat beraktivitas seperti biasa dan terlihat sehat, serta keluarga pasien kooperatif untuk terus memberikan pengobatan kepada pasien selama dirumah. 



























DAFTAR PUSTAKA

1.     Khairani R, Syahruddin E, Partakusuma LG. Karakteristik Efusi Pleura di Rumah Sakit Persahabatan. J Respir Indo 2012;32(3):155-60.
2.     Light RW. Pleural diseases. 5th ed. Baltimore: Wiliams and Wilkins; 2007. p.412.
3.     Mayse ML. Non malignant pleural effusions. In: Fishman AP, editor. Fishman’s pulmonary diseases and disorders. 4th ed. New York: Mc Graw Hill. 2008;1487-504.
4.     Marel M. Epidemiology of pleural effusion. Eur Respir Mon. 2002;22:146-56.
5.     Syahruddin E, Hudoyo A, Arief N. Efusi Pleura Ganas pada Kanker Paru. Jakarta: Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI. 2004.
6.     Moore KL, Dalley AF, Agur AMR, et al. Clinically Oriented Anatomy. 6th ed. Baltimore: Lippincott Williams and Wilkins; 2010.p.72-180.
7.     Pratomo IP, Yunus F. Anatomi dan Fisiologi Pleura. Vol 40. No 6. Jakarta: RSUP Persahabatan. 2013:407-12.
8.     Antony VB. Immunological mechanism in pleural disease. Eur Respir J. 2003;21:539-44.
9.     Halim H. Penyakit-penyakit Pleura. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M Setiati S. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid III. Jakarta: Interna Publishing; 2014. h.2329-36.
10.  Washko GR, O’Donnell CR, Loring SH. Volume-related and Volume-independent effects of posture on esophageal and transpulmonary pressures in healthy subjects. J Appl Physiol. 2006;100:753-8.
11.  Wardhani DP, Uyainah A. Efusi Pleura. Dalam: Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV, Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius; 2014. h. 811-3.
12.  Thabrani R, Prof. Dr. H. Penyakit pleura. Edisi I. Jakarta: Trans Info Media; 2010.
13.  Rubins J, Byrd RP, Manning HL. Pleural Effusion. 2016. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/299959-overview#showall. Accesed at August, 27th 2016.
14.  Danusantoso H, Dr. Efusi Pleura. Dalam: Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Edisi II. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010;(14):281-94.
15.  Price, Sylvia A, Lorraine M, Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit . Vol 2. Ed 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005.
16.  Light RW. Pleural effusion. Available at : http://www.merckmanuals.com/professional/pulmonary-disorders/mediastinal-and-pleural-disorders/pleural-effusion#v922991. Accesed at September, 5th 2016.
17.  Perhimpunan Dokter Paru. Pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indonesia. Available at : http://klikpdpi.com/konsensus/Xsip/tb.pdf. Accesed at September, 8th 2016.

18.  Wesnawa MADP. Diagnosis dan Tatalaksana Pleuritis Tuberkulosis. CDK-240;2016.h.341-5.