LAPORAN KASUS
EFUSI PLEURA

Disusun oleh :
Kinanty Sindiana
030.12.142
FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA
KEPANITERAAN
KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSU
ANGKATAN LAUT DR MINTOHARDJO
PERIODE
01 AGUSTUS – 08 OKTOBER 2016
LEMBAR
PENGESAHAN
Kasus dengan judul :
EFUSI
PLEURA
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
RSAL Dr. Mintohardjo periode 01 Agustus – 08
Oktober 2016
Disusun oleh :
Kinanty
Sindiana
030.12.142
Telah diterima dan disetujui oleh dr. J.D. Dian Ariani, Sp.P selaku
dokter pembimbing Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSAL Dr. Mintohardjo
Jakarta, 20 September 2016
Dr. J.D. Dian Ariani, Sp.P
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis
panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan karuniaNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini.
Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi tugas
kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam, Program Studi Pendidikan Dokter
Unicersitas Trisakti di Rumah Sakit TNI AL Dr. Mintohardjo, Jakarta. Pada
penyusunan laporan kasus ini banyak pihak yang memberikan doa, dukungan, dan
bimbingan kepada penulis. Oleh sebab itu, penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada dr. J.D. Dian Ariani, Sp.P selaku pembimbing yang senantiasa
memberikan dukungan dan bimbingannya serta pihak yang membantu dalam
penyelesaian laporan kasus ini.
Penulis menyadari laporan kasus ini masih jauh dari
sempurna dan tidak luput dari kesalahan, sehingga penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun untuk memperbaiki laporan kasus ini. Semoga laporan
kasus ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, tenaga kesehatan serta bagi
mayarakat.
Jakarta, 20 September 2016
Penulis,
Kinanty Sindiana
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………………….....ii
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………....iii
DAFTAR ISI…………………………………..………………………………………....iv
BAB I PENDAHULUAN…………...………………………………………………….....1
BAB II LAPORAN KASUS……………………………..………………………….….....2
2.1
Identitas……………………………..……………………………....................3
2.2
Anamnesis……………………………..……………………………................3
2.3
Pemeriksaan Fisik……………………………..……………………………....5
2.4
Pemeriksaan Penunjang……………………………..………………………...8
2.5
Diagnosa……………………………..……………………………................10
2.6
Diagnosa Banding……………………………..……………………………..10
2.7
Rencana terapi……………………………..……………………………........10
2.8
Prognosis……………………………..……………………………................10
2.9
Resume……………………………..……………………………...................10
2.10
Follow Up……………………………..……………………………............11
BAB III TINJAUAN PUSTAKA……………………...………………………………...13
3.1
Anatomi dan Fisiologi Pleura……………………………..…………………13
3.2
Definisi……………………………..……………………………...................16
3.3
Epidemiology……………………………..…………………………….........16
3.4
Jenis Cairan……………………………..……………………………............16
3.5
Etiologi dan Klasifikasi……………………………..………………………..18
3.6
Patofisiologi……………………………..……………………………...........20
3.7
Manifestasi Klinis……………………………..……………………………..21
3.8
Diagnosa……………………………..……………………………................21
3.9
Penatalaksanaan……………………………..…………………………….....26
BAB IV ANALISIS KASUS…………………………….……………………………....28
DAFTAR PUSTAKA……………….…………………………………………………...31
BAB I
PENDAHULUAN
Pleura merupakan membrane
serosa yang melingkupi parenkim paru, mediastinum, diafragma serta tulang iga.
Pleura terdiri dari pleura visceral dan pleura parietal. Rongga pleura dalam
keadaan normal berisi sekitar 10-20 ml cairan yang berfungsi sebagai pelicin
agar paru dapat bergerak dengan leluasa saat bernafas. Akumulasi cairan
melebihi volume normal dan menimbulkan gangguan jika cairan yang diproduksi
oleh pleura parietal dan visceral tidak mampu diserap oleh pembuluh limfe dan
pembuluh darah mikropleura visceral atau sebaliknya yaitu apabila produksi
cairan melebihi kemampuan penyerapan.5,6
Efusi pleura adalah akumulasi
cairan tidak normal di rongga pleura yang diakibatkan oleh transudasi atau eksudasi
yang berlebihan dari permukaan pleura. Efusi pleura selalu abnormal dan
mengindikasikan terdapat penyakit yang mendasarinya. Efusi pleura dibedakan
menjadi eksudat dan transudate berdasarkan penyebabnya. Rongga pleura dibatasi
oleh pleura visceral. Pada keadaan normal, sejumlah kecil (0,01 mL/kg/jam)
cairan secara konstan memasuki rongga pleura dari kapiler di pleura parietal.
Hampir semua cairan ini dikeluarkan oleh limfatik pada pleura parietal yang
mempunyai kapasitas pengeluaran sedikitnya 0,2 mL/kg/jam. Cairan pleura
terakumulasi saat kecepatan pembentukan cairan pleura melebihi kecepatan
absorbsinya.1,2,3
Efusi pleura karena kuman M.tuberculosis sering ditemukan di
Negara berkembang termasuk di Indonesia meskipun diagnosis pasti sulit
ditegakkan. Efusi pleura dapat terjadi sebagai komplikasi dari berbagai
penyakit. Pendekatan yang tepat terhadap pasien efusi pleura memerlukan
pengetahuan insidens dan prevalens efusi pleura. Distribusi penyakit penyebab
efusi pleura tergantung pada studi populasi. Penelitian yang pernah dilakukan
di rumah sakit Persahabatan, dari 229 kasus efusi pleura pada bulan juli 1994 -
juni 1997, keganasan merupakan penyebab utama diikuti oleh tuberculosis,
empyema toraks dan kelainan ekstra pulmoner. Pada tahun 2012 juga dilakukan
penelitian di Rumah Sakit Persahabatan, terdapat 119 pasien efusi pleura dimana
didapatkan sebagian besar 55,5% pada pasien laki-laki dan kelompok usia
terbanyak antara 40-59 tahun. Penyakit jantung kongestif dan sirosis hepatis
merupakan penyebab tersering efusi transudatif sedangkan keganasan dan
tuberculosis (TB) merupakan penyebab tersering efusi eksudatif. Mengetahui
karakteristik efusi pleura merupakan hal penting untuk dapat menegakkan
penyebab efusi pleura sehingga efusi pleura dapat ditatalaksana dengan baik.1,4
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1
IDENTITAS
Nama :
Tn. Rochmat Adi Setiyo
Umur :
29 tahun
Jenis
Kelamin :
Laki-laki
Agama :
Islam
Alamat : Jl. Citanduy Hilir no. 79, Cilacap.
Pekerjaan : SERTU
Pendidikan : SLTA
Status
Pernikahan : Menikah
Suku : Jawa
Tanggal
masuk RS : 24 Agustus 2016
Tanggal
keluar RS : 30 Agustus 2016
Ruang
perawatan : 3C, Pulau Sangeang
No.
RM : 16.06.55
2.2
ANAMNESIS
Anamnesis
dilakukan secara autoanamnesis yang dilakukan di RSU Angkatan Laut Dr. Mintohardjo
pada tanggal 26 Agustus 2016, pukul 14.30 WIB.
A.
Keluhan
Utama
Batuk sejak 5 hari sebelum
masuk rumah sakit (SMRS).
B.
Keluhan
tambahan
Sesak,
nyeri dada kanan, muntah, keringat malam, menggigil, pusing berputar, nafsu
makan turun, berat badan turun.
C.
Riwayat
Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli paru RSU
AL Dr. Mintohardjo dengan keluhan batuk sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit
(SMRS). Batuk yang dialami pasien ialah batuk kering. Keluhan tersebut timbul
pada saat pasien merasa sesak nafas saat sedang berbaring dan kemudian
berkurang pada saat pasien duduk dan menarik nafas dalam. Sesak nafas pasien
juga dirasakan sejak 5 hari SMRS, hanya dirasakan saat berbaring dan tidak
dipengaruhi aktifitas. Pasien juga mengeluh terdapat nyeri dada disebalah kanan
yang timbul lebih dulu sebelum terjadi sesak dan batuk sejak 1 minggu SMRS.
Nyeri dada kanan lebih terasa pada saat menarik nafas dan seperti di
tusuk-tusuk, tidak menjalar, dan hanya timbul pada saat bangun pagi. Pasien mengkonsumsi
obat amoxicillin, codein, dan gliseril guaikolat yang di dapat dari apotik
namun pasien merasa tidak ada perubahan. Pasien mengaku 1 hari SMRS adanya
keluhan batuk-batuk yang semakin parah hingga muntah makanan yang dimakan,
keringat malam (+), menggigil (+), pusing berputar (+), dan nafsu makan
menurun. BAB dan BAK dalam batas normal, pasien juga mengatakan dalam 2 bulan
terakhir berat badan perlahan turun hingga 10 kg.
D.
Riwayat
Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat operasi
hidrokel (+) saat balita, pasien tidak mempunyai riwayat kencing manis/DM (-)
dan hipertensi (-), riwayat alergi terhadap makanan dan obat-obatan disangkal,
riwayat penyakit parau atau jantung (-).
E.
Riwayat
Keluarga
Tidak ada riwayat kencing
manis/DM, asthma, hipertensi, dan keganasan pada keluarga pasien. Keluarga
pasien tidak ada yang mempunyai keluhan yang sama dengan pasien.
F.
Riwayat
Kebiasaan
Pasien merokok (+) 1 bungkus
untuk 2 hari sejak 7 tahun yang lalu, minum teh 1x/hari, konsumsi kopi (-),
alcohol (-).
G.
Riwayat
Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai tentara
dengan jabatan sersan satu. Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk, namun
ventilasi dan penerangan di rumah pasien baik.
2.3
PEMERIKSAAN
FISIK (Tanggal 26 Agustus 2016, pukul 14.30 WIB)
A.
Keadaan
Umum
Kesan sakit : Tampak sakit sedang
Kesan gizi : Tampak gizi lebih
Kesadaran : Compos mentis
Warna kulit : Sawo matang, pucat (-), ikterik (-), sianosis (-)
Habitus : Atletikus (mesomorf)
Umur sesuai taksiran :
Sesuai dengan usia sebenarnya
Cara berjalan/berbaring/duduk : Aktif
Sikap penderita : Kooperatif
B.
Tanda
Vital
Suhu :
37,9oC axiler
Nadi :
76 x/menit, regular, kuat, isi cukup, equal
Tekanan darah :
110/70 mmHg
Pernafasan :
24 x/menit, teratur, tipe pernafasan abdominotorakal
Berat badan :
75 kg
Tinggi badan :
172 cm
C.
Status
Generalis
Kulit
: warna sawo matang, pertumbuhan rambut merata,
suhu raba hangat.
Kepala
: Normocefali, deformitas (-).
Wajah
: Wajah simetris, warna kulit sawo matang, tidak ada kelainan
kulit bermakna, serta tidak ada kelainan bentuk.
Mata
: tidak ada edema palpebra, konjungtiva anemis
-/-, sclera ikterik -/-, pupil bulat, isokor, refleks cahaya langsung dan tidak
langsung +/+, gerak bola mata aktif ke segala arah.
Hidung
: bentuk normal, tidak ada deformitas, pernafasan
cuping hidung (-), tidak tampak adanya sekret keluar dari hidung.
Telinga
: daun telinga normotia, simetris, tidak ada
deformitas, tidak ada benjolan, bengkak, dan hiperemis. Tidak ada nyeri tekan
pada telinga, tidak ada sekret yang keluar dari telinga.
Mulut
: tidak hiperemis, tidak sianosis, lidah
normoglosia, oral hygiene baik, T1-T1, tidak hiperemis pada tonsil dan faring.
Leher
: JVP 5+2cmH2O, pembesaran KGB (-),
pembesaran tiroid (-), kaku kuduk (-).
Thoraks
:
Inspeksi : bentuk thoraks normal, sela iga
normal, retraksi sela iga (-), gerakan nafas simetris, tipe pernafasan
abdominothorakal, warna kulit sawo matang, kelainan kulit bermakna (-),
spidernervi (-), iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi : pergerakan dinding dada tidak ada
yang tertinggal, vocal fremitus hemithoraks baik, nyeri tekan (-), tidak teraba
thrill.
Perkusi : redup pada daerah basal paru kanan, batas paru dan hepar sulit dinilai, batas
paru dan jantung kanan sulit dinilai, batas bawah paru dan lambung setinggi ICS
8 linea aksilaris anterior kiri dengan suara timpani, batas paru dan jantung
kiri setinggi ICS 5 medial linea midclavicularis kiri dengan suara redup.
Auskultasi : suara nafas vesikuler +/
,
rh-/-, wh-/-, S1 dan S2 regular, murmur (-), gallop (-).

Abdomen
:
Inspeksi : datar, tidak skafoid, warna kulit
sawo matang, dilatasi vena (-), umbilicus normal, gerak dinding perut simetris,
tipe pernafasan abdomino-thorakal, tidak ada kelainan kulit bermakna.
Auskultasi : Bising usus (+) 3x/menit
Palpasi : supel, massa (-), nyeri tekan dan
lepas (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba, ballotment (-).
Perkusi :
Timpani pada ke-4 kuadran abdomen, shifting dullness (-).
Inguinal
: Tidak dilakukan pemeriksaan.
Genitalia
: Tidak dilakukan pemeriksaan.
Ekstremitas
:
|
Superior
|
|
Inferior
|
|
|
Kanan
|
Kiri
|
Kanan
|
Kiri
|
Otot
Gerakan
Kekuatan
Sianosis
Oedem
Jaringan
parut
Lain-lain
|
Normotonus
Aktif
5
tidak ada
tidak ada
tidak ada
akral hangat (+)
keringat (-)
turgor kulit (n)
|
Normotonus
Aktif
5
tidak ada
tidak ada
tidak ada
akral hangat (+)
keringat (-)
turgor kulit (n)
|
Normotonus
Aktif
5
tidak ada
tidak ada
tidak ada
akral hangat (+)
keringat (-)
turgor kulit (n)
|
Normotonus
Aktif
5
tidak ada
tidak ada
tidak ada
akral hangat (+)
keringat (-)
turgor kulit (n)
|
2.4
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
LABORATORIUM
Tanggal
24-8-2016
Hematologi
- Darah lengkap
Leukosit
|
Hasil
12.100/
![]() |
Nilai Normal
5.000-10.000
|
Eritrosit
|
4,96juta/
![]() |
4,6-6,2
|
Hemoglobin
|
14,4g/dL
|
14-16
|
Hematocrit
|
42%
|
42-48
|
Trombosit
|
409.000/
![]() |
150.000-450.000
|
LED
|
42mm/jam
|
<10
|
- Hitung jenis
Basophil
|
1%
|
0-1
|
Eosinophil
|
4%
|
1-3
|
Batang
|
0%
|
2-6
|
Segmen
|
71%
|
50-70
|
Limfosit
|
15%
|
20-40
|
Monosit
|
9%
|
2-8
|
Kimia klinik
- Glukosa darah
GDS
|
92 mg/dL
|
<200
|
- Fungsi hati
AST (SGOT)
ALT (SGPT)
|
21
21
|
<35
<55
|
Tanggal
25-8-2016
Urine
- Kimia urin
Warna
|
Hasil
Kuning muda
|
Nilai normal
Kuning
|
Blood/eritrosit
|
-
|
-
|
Glukosa
|
-
|
-
|
Leukosit
|
-
|
-
|
Bilirubin
|
-
|
-
|
Keton
|
-
|
-
|
Berat jenis
|
1,025
|
1,003-1,031
|
pH
|
5,5
|
4,5-8,5
|
Protein
|
-
|
-
|
Urobilinogen
|
+-/normal
|
3,5-17
|
Nitrit
|
-
|
-
|
- Mikroskopik urin
Eritrosit
|
2-3/LPB
|
0-1
|
Leukosit
|
0-1/LPB
|
0-5
|
Epitel
|
+1/LPK
|
+
|
Bakteri
|
-
|
-
|
Silinder
|
-
|
-
|
Kristal
|
-
|
-
|
Tanggal
26-8-2016
Kimia klinik
- Fungsi ginjal
Ureum
|
Hasil
19 mg/dL
|
Nilai normal
17-43
|
Kreatinin
|
1,2 mg/dL
|
0,7-1,3
|
Cairan tubuh
- Analisa cairan tubuh
Jenis sampel
|
Cairan pleura
|
|
Warna
|
Kuning keruh
|
|
Bekuan
|
-
|
|
Jumlah sel leukosit
|
4900/mm3
|
0-50
|
Eritrosit
|
+
|
-
|
Rivalta
|
+
|
-
|
None
|
+
|
-
|
Pandy
|
+
|
-
|
- Hitung jenis sel
PMN
|
16%
|
40-90%
|
MN
|
84%
|
70-100%
|
LDH
|
744 U/I
|
|
Glukosa cairan
|
92 mg/dL
|
50-80
|
Protein cairan
|
5600 mg/dL
|
15-80
|
Tanggal 27-8-2016
Kimia
klinik
-
Glukosa darah
Glukosa darah sewaktu
|
Hasil
153 mg/dL
|
Nilai normal
<200
|
FOTO THORAKS
Pemeriksaan foto thoraks pada tanggal 23
agustus 2016

Deskripsi :
Cor :
bentuk dan besar normal
Pulmo : corakan
paru baik, perselubungan basal paru kanan, sinus costofrenikus, diafragma kanan
suram, tulang dan soft tissue baik
Kesan :
efusi pleura dextra
Pemeriksaan foto thoraks 26 agustus 2016,
setelah dilakukan pungsi pleura.

Deskripsi :
- jantung membesar
- masih tampak gambaran efusi pleura kanan,
belum tenang
2.5 DIAGNOSA
Efusi pleura dextra
2.6 DIAGNOSA BANDING
Pleuropneumonia, TB pleuritis
2.7
RENCANA TERAPI
- Infus RL 14 tpm
- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr
- Inj. Ranitidine 2 x 1 amp
- Ambroxol tab 3 x 1
- Pungsi cairan pleura
2.8 PROGNOSIS
Ad vitam :
dubia ad bonam
Ad functionam :
dubia ad bonam
Ad sanationam :
dubia ad bonam
2.9 RESUME
Pasien laki-laki dengan inisial Tn. R berusia
29 tahun, datang ke poli paru RSU AL Dr. Mintohardjo dengan keluhan batuk sejak
5 hari SMRS. Batuk yang dialami pasien ialah batuk kering. Keluhan tersebut
timbul pada saat pasien merasa sesak nafas saat sedang berbaring dan kemudian
berkurang pada saat pasien duduk dan menarik nafas dalam. Sesak nafas pasien
juga dirasakan sejak 5 hari SMRS, hanya dirasakan saat berbaring dan tidak
dipengaruhi aktifitas. Pasien juga mengeluh terdapat nyeri dada disebalah kanan
yang timbul lebih dulu sebelum terjadi sesak dan batuk sejak 1 minggu SMRS.
Nyeri dada kanan lebih terasa pada saat menarik nafas dan seperti di
tusuk-tusuk, tidak menjalar, dan hanya timbul pada saat bangun pagi. Pasien
mengkonsumsi obat amoxicillin, codein, dan gliseril guaikolat yang di dapat
dari apotik namun pasien merasa tidak ada perubahan. Pasien mengaku 1 hari SMRS
adanya keluhan batuk-batuk hingga muntah makanan yang dimakan, keringat malam
(+), menggigil (+), pusing berputar (+), dan nafsu makan menurun. BAB dan BAK
dalam batas normal, pasien juga mengatakan dalam 2 bulan terakhir berat badan
perlahan turun hingga 10 kg.
Dari
pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi nafas 24x.menit, suhu 37,9oC,
paru : suara nafas vesikuler melemah pada hemithoraks kanan, perkusi redup pada
basal hemithoraks kanan. Hasil foto rontgen thoraks didapatkan efusi pleura
kanan.
2.10 FOLLOW-UP
Tanggal 24-8-2016
S
|
Batuk kering (+), nyeri
dada (+), sesak nafas (+), keringat malam (+), BAB & BAK lancer, muntah
(+) 1x, nafsu makan kurang
|
O
|
110/70 mmHg, 80x/menit,
22x/menit, 37,4oC
|
A
|
Efusi pleura dextra
|
P
|
Infus RL 14 tpm, inj.
Ceftriaxone 2x1 gr, inj. Ranitidine 2x1 amp, Ambroxol tab 3x1
|
Tanggal 25-8-2016
S
|
Batuk kering (+), nyeri
dada (+), sesak nafas (+), keringat malam (-), BAB & BAK lancar, muntah
(-), menggigil (+), susah tidur (+)
|
O
|
120/80 mmHg, 88x/menit,
28x/menit, 36,3oC
|
A
|
Efusi pleura dextra
|
P
|
Infus RL 14 tpm, inj.
Ceftriaxone 2x1 gr, inj. Ranitidine 2x1 amp, ambroxol tab 3x1
|
Tanggal 26-8-2016
S
|
Batuk kering (+), nyeri
dada (+), sesak nafas (+), keringat malam (-), BAB cair, BAK lancer, muntah
(-), mual (+), menggigil (-)
|
O
|
110/70 mmHg, 80x/menit,
28x/menit, 36,3oC
|
A
|
Efusi pleura dextra
|
P
|
Pungsi pleura (550cc)
Infus RL 14 tpm, inj.
Ceftriaxone 2x1 gr, inj. Ranitidine 2x1 amp, ambroxol tab 3x1, 4FDC, curcuma
2x1
|
Tanggal 27-8-2016
S
|
Batuk (+) dahak putih,
nyeri dada (<), sesak nafas (<), keringat malam (-), BAB & BAK
lancar, muntah (-)
|
O
|
90/60 mmHg, 68x/menit,
26x/menit, 37,1oC
|
A
|
Efusi pleura dextra post
pungsi
|
P
|
Infus RL 14 tpm, inj.
Ceftriaxone 2x1 gr, inj. Ranitidine 2x1 amp, ambroxol tab 3x1, OAT 4FDC,
curcuma 2x1
|
Tanggal 28-8-2016
S
|
Batuk (+) dahak putih,
nyeri dada (<), sesak nafas (<), keringat malam (-), BAB & BAK
lancar, muntah (-)
|
O
|
110/70 mmHg, 68x/menit,
22x/menit, 37oC
|
A
|
Efusi pleura dextra post
pungsi
|
P
|
Infus RL 14 tpm, inj.
Ceftriaxone 2x1 gr, inj. Ranitidine 2x1 amp, ambroxol tab 3x1, 4FDC, curcuma
2x1
|
Tanggal 29-8-2016
S
|
Batuk (+) dahak putih,
nyeri dada (<), sesak nafas (<), keringat malam (-), BAB & BAK
lancar, muntah (-)
|
O
|
110/70 mmHg, 70x/menit,
20x/menit, 36,3oC
|
A
|
Efusi pleura dextra post
pungsi
|
P
|
Infus RL 14 tpm, inj.
Ceftriaxone 2x1 gr, inj. Ranitidine 2x1 amp, ambroxol tab 3x1, OAT FDC 5 tab
jam 22.00, curcuma 2x1
|
Tanggal 30-8-2016
S
|
Batuk kering (+), nyeri
dada (<), sesak nafas (+), keringat malam (-), BAB cair (+) 1x, BAK
lancar, muntah (-), pusing (+)
|
O
|
90/60 mmHg, 64x/menit,
24x/menit, 36,7oC
|
A
|
Efusi pleura dextra post
pungsi
|
P
|
Infus RL 14 tpm, inj.
Ceftriaxone 2x1 gr, inj. Ranitidine 2x1 amp, ambroxol tab 3x1, OAT FDC 5 tab
jam 22.00, curcuma 2x1, nebulizer (ventolin:pulmicort:nacl) 1x.
|
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1
ANATOMI FISIOLOGI PLEURA

Pleura merupakan membrane serosa yang tersusun
dari lapisan sel yang embriogenik berasal dari jaringan selom intraembrional
dan bersifat memungkinkan organ yang diliputinya mampu berkembang, mengalami
retraksi atau deformasi sesuai dengan proses perkembangan anatomis dan
fisiologis suatu organisme. Pleura adalah suatu membrane tipis yang terdiri
dari 2 (dua) lapisan yaitu pleura visceralis dan pleura parietalis. Secara
histologis kedua lapisan ini terdiri dari sel mesothelial, jaringan ikat, dan
dalam keadaan normal, berisikan lapisan cairan yang sangat tipis. Membrane
serosa yang membungkus parenkim paru disebut pleura visceralis, sedangkan
membrane serosa yang melapisi dinding thorak, diafragma dan mediastinum disebut
pleura parietalis. Rongga pleura terletak antara paru dan dinding thorak.
Rongga pleura dengan lapisan cairan yang tipis ini berfungsi sebagai pelumas
antara kedua pleura. Kedua lapisan pleura ini bersatu pada hilus paru. Rongga
pleura terisi cairan pleura dari pembuluh kapiler pleura, ruang interstisial
paru, saluran limfatik intratoraks, pembuluh kapiler intratoraks, dan rongga
peritoneum.7
Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara pleura
visceralis dan parietalis, diantaranya:7,8


1.
Pleura Visceralis
Permukaan luarnya terdiri dari selapis sel
mesothelial yang tipis <30 mm. Di bawah sel-sel mesothelial ini terdapat
endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit, di bawahnya terdapat lapisan
tengah berupa jaringan kolagen dan serat-serat elastic. Lapisan terbawah
terdapat jaringan interstisial subpleura yang banyak mengandung pembuluh darah
kapiler dari a.pulmonalis dan a. brakhialis serta pembuluh limfe menempel kuat
pada jaringan paru.9
2.
Pleura Parietalis
Jaringan lebih tebal terdiri dari sel-sel
mesothelial dan jaringan ikat (kolagen dan elastis). Dalam jaringan ikat
tersebut banyak mengandung kapiler dari a. intercostalis dan pembuluf limfe,
dan banyak reseptor saraf sensoris yang peka terhadap rasa sakit dan perbedaan
temperature. Keseluruhan berasal dari n. intercostals dinding dada dan
alirannya sesuai dengan dermatom dada.
Pleura normal memiliki permukaan licin,
mengkilap, dan semitransparan. Ujung saraf sensorik berada di pleura parietal
kostalis dan diafragmatika. Pleura kostalis diinervasi oleh saraf
interkostalis, bagian tengah pleura diafragmatika oleh saraf frenikus.
Stimulasi oleh inflamasi dan iritasi pleura parietal menimbulkan sensasi nyeri
dada dan nyeri tumpul pada bahu ipsilateral. Tidak ada jaras nyeri pada pleura
visceral walaupun secara luas diinervasi oleh nervus vagus dan trankus
simpatikus.7
Jumlah cairan pleura tergantung mekanisme gaya
Starling (laju filtrasi kapiler di pleura parietal) dan system penyaliran
limfatik melalui stoma di pleura parietal. Menurut Stewart (1963), nilai rerata
aliran limfatik dari satu sisi rongga pleura adalah 0,4mL/kgBB/jam pada orang
normal. Akumulasi berlebih cairan pleura hhingga 300 mL disebut sebagai efusi
pleura, terjadi akibat pembentukan cairan pleura melebihi kemampuan eliminasi
cairan pleura.2,7
Cairan pleura mengandung 1500-4500 sel/mL yang
terdiri dari makrofag (75%), limfosit (23%), sel darah merah, dan mesotel
bebas. Cairan pleura normal mengandung protein 1-2 g/100mL. Elektroforesis
cairan pleura menunjukkan bahwa kadar protein cairan pleura setara dengan kadar
protein serum, namun kadar protein berat molekul rendah seperti albumin, lebih
tinggi dalam cairan pleura. Kadar molekul bikarbonat cairan pleura 20-25% lebih
tinggi dibandingkan kadar bikarbonat plasma, sedangkan kadar ion natrium lebih
rendah 3-5% dan kadar ion klorida lebih rendah 6-9% sehingga pH cairan pleura
lebih tinggi dibandingnkan pH plasma. Keseimbangan ionic ini diatur melalui
transport aktif mesotel. Kadar glukosa dan ion kalium cairan pleura setara
dengan plasma.7

Eliminasi akumulasi cairan pleura terutama
diatur oleh system limfatik sistemik di pleura parietal. Cairan masuk ke dalam
rongga pleura melalui arteriol interkostalis pleura parietal melewati mesotel
dan kembali ke sirkulasi melalui stoma pada pleura parietal yang terbuka
langsung menuju system limfatik pleksus limfatikus superfisialis terletak pada
jaringan ikat di lapisan subpleura visceral dan bermuara di pembuluh limfe
septa lobularis dan lobaris. Cairan pleura tidak masuk ke dalam pleksus
limfatikus di pleura visceral karena pleura visceral lebih tebal dibandingkan
pleura parietal sehingga tidak terjadi pergerakan cairan dari rongga pleura ke
pleura visceral.7
Pleura berperan dalam system pernafasan melalui
tekanan pleura yang ditimbulkan oleh rongga pleura. Tekanan pleura bersama
dengan tekanan jalan nafas akan menimbulkan tekanan transpulmoner yang
selanjutnya akan mempengaruhi pengembangan paru dalam proses respirasi.
Pengembangan paru terjadi bila kerja otot dan tekanan transpulmoner berhasil
mengatasi recoil elastic paru dan dinding dada sehingga terjadi proses
respirasi.7,10
3.2
DEFINISI
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana
terdapat cairan pleura dalam jumlah yang berlebih di dalam rongga pleura yang
melebihi batas normal. Hal ini disebabkan ketidakseimbangan antara produksi dan
absorbsi cairan pleura. Normalnya, cairan dari kapiler pleural parietal masuk ke
rongga pleura. Kemudian, diserap oleh system limfe. Selain itu, cairan juga
masuk melalui pleura visceral dari rongga interstitial dan melalui lubang kecil
di diafragma dari rongga peritoneum. System limfatik akan menyerap hingga 20
kali cairan yang berlebih diproduksinya. Namun, ketika terjadi penurunan
absorbsi cairan oleh system tersebut ataupun produksinya yang sangat banyak
maka terjadilah efusi pleura.11
3.3
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, 1,5 juta kasus efusi pleura
terjadi tiap tahunnya. Sementara pada populasi umum secara internasional,
diperkirakan tiap 1 juta orang, 3000 orang terdiagnosa efusi pleura. Estimasi
prevalensi efusi pleura adalah 320 kasus per 100.000 orang di Negara-negara
industry, dengan distibrusi etiologi terkait dengan prevalensi penyakit yang
mendasarinya. Secara umum, kejadian efusi pleura adalah sama antara kedua jenis
kelamin. Namun, penyebab tertentu memiliki kecenderungan seks. Sekitar dua
pertiga dari efusi pleura ganas terjadi pada wanita. Efusi pleura ganas secara
signifikan berhubungan dengan keganasan payudara dan ginekologi. Sedangkan pada
efusi pleura karena pakreatitis kronik tersering pada laki-laki karena penyebab
dari konsumsi alcohol. Dari penelitian tahun 2012 di Rumah Sakit Persahabatan
terdapat 119 pasien efusi pleura dengan pasien terbanyak pada laki-laki (55,5%)
dibanding perempuan (44,5%) dan kelompok umur terbanyak antara 40-59 tahun,
umur termuda 17 tahun dan umur tertua 80 tahun.1,13
3.4
JENIS-JENIS CAIRAN
Ada beberapa jenis cairan yang bisa berkumpul
di dalam rongga pleura antara lain darah, pus, cairan seperti susu dan cairan
yang mengandung kolesterol tinggi. Adapun jenis-jenis cairan yang terdapat pada
rongga pleura antara lain :14
a.
Hidrothoraks
Pada keadaan hipoproteinemia berat (sindroma
nefrotik, ankilostomiasis berat, kekurangan kalori-protein berat, dll) bisa
timbul transudate (cairan encer dengan warna dan konsistensi seperti serum, dan
tidak mengandung protein sehingga tes Rivalta juga akan negative). Dalam hal
ini, penyakitnya disebut hidrothoraks dan biasanya ditemukan bilateral.
Sebab-sebab lain yang mungkin adalah kegagalan jantung kanan, sirosis hati
dengan asites, serta sebagai salah satu trias dari sindroma meig (fibroma
ovarii, asites, dan hidrothoraks).14
b.
Hemothoraks
Hemothoraks adalah adanya darah di dalam rongga
pleura. Biasanya terjadi karena trauma thoraks. Penyebab lainnya hemothoraks
adalah infark paru, keganasan, kebocoran aneurisma aorta, dan gangguan
pembekuan darah.9,14
c.
Piothoraks
atau Empiema
Bila karena suatu infeksi primer maupun
sekunder cairan pleura patologis ini akan berubah menjadi pus, maka keadaan ini
disebut piothoraks atau empyema. Pada setiap kasus pneumonia perlu diingat
kemungkinan terjadinya empyema sebagai salah satu komplikasinya.14
d.
Chylothoraks
Bila karena suatu proses keganasan dalam
mediastinum terjadi erosi ductus thoracicus yang disertai fistulasi ke dalam
rongga pleura, akan timbul chylothoraks. Chylothoraks adalah suatu keadaan
dimana terjadi penumpukan cairan limfe (putih kekuning-kuningan seperti susu)
pada rongga pleura. Kelainan ini memang jarang ditemukan, namun adapun
sebab-sebab yang dapat menyebabkan chylothoraks antara lain:14
·
Kongenital, sejak lahir tidak terbentuk
(atresia) duktus thorascikus, tetapi terdapat fistula antara dductus thorasikus
rongga pleura.
·
Trauma, yang berasal dari luar seperti
penetrasi pada leher dan dada, atau pukulan pada dada (dengan/tanpa fraktur).
Yang berasal dari efek operasi daerah torakolumbal, reseksi esophagus 1/3
tengah dan atas, operasi leher, operasi kardiovaskular yang membutuhkan
mobilisasi arcus aorta.
·
Obstruksi, karena limfoma malignum, metastasis
karsinoma ke mediastinum, granuloma mediastinum (tuberculosis, histoplasmosis).
Penyakit-penyakit ini memberi efek obstruksi dan juga perforasi terhadap duktus
torasikus secara kombinasi.14
3.5
ETIOLOGI dan KLASIFIKASI
Efusi pleura merupakan hasil dari
ketidakseimbangan tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik. Efusi pleura
merupakan indicator dari suatu penyakit paru atau non-pulmonary, dapat bersifat
akut atau kronis.15
Efusi pleura umumnya diklasifikasikan
berdasarkan mekanisme pembentukan cairan dan kimiawi cairan menjadi 2 yaitu
atas transudate atau eksudat. Transudate hasil dari ketidakseimbangan antara
tekanan onkotik dengan tekanan hidrostatik, sedangkan eksudat adalah hasil dari
peradangan pleura atau drainase limfatik yang menurun. Dalam beberapa kasus
mungkin terjadi kombinasi antara karakteristik cairan transudate dan eksudat.
Efusi transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran kadar laktat dehydrogenase
(LDH) dan protein dalam cairan pleura.9,15
Klasifikasi berdasarkan mekanisme pembentukan
cairan:
a.
Transudat
Dalam keadaan normal cairan pleura yang
jumlahnya sedikit itu adalah transudate. Karakteristik transudate adalah
rendahnya konsentrasi protein dan molekul besar lainnya. Biasanya hal ini disebabkan
karena meningkatnya tekanan kapiler sistemik, meningkatnya tekanan kapiler
pulmoner, menurunnya tekanan koloid osmotic dalam pleura, dan menurunnya
tekanan intra pleura. Efusi pleura transudate disebabkan oleh :9,11
· Gangguan
kardiovaskuler
Akibat terjadinya peningkatan tekanan vena
sistemik dan tekanan kapiler dinding dada sehingga terjadi peningkatan filtrasi
pada pleura parietalis. Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis,
sedangkan penyebab lainnya adalah pericarditis konstriktiva dan sindroma vena
cava superior.9
· Hipoalbunemia
Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotic
protein cairan pleura dibandingkan dengan tekanan osmotic darah. Terjadi pada
penyakit ginjal (efusi bilateral), gangguan hati, dan infeksi kronis.9
· Asites
pada sirosis hati
· Meig’s
syndrome
Ditandai dengan adanya asites dan efusi pleura
pada penderita tumor jinak ovarium, fibromiotoma uterus, tumor ovarium ganas.11
b.
Eksudat
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui
membrane kapiler yang permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi
dibandingkan protein transudate. Hal ini karena perubahan factor local sehingga
pembentukan dan penyerapan cairan pleura tidak seimbang. Efusi pleura eksudat
disebabkan oleh :9,11
· Virus
dan mikoplasma : virus coxsackie,
rickettsia, chlamydia.
·
Bakteri piogenik : streptococcus pneumonie, staphylococcus aureus, pseudomonas,
hemophillus, e. coli, bakteriodes, fusobakterium, dll.
·
Fungi : Aktinomikosis,
aspergillus, criptococcus.
·
Mycobacterium
tuberculosis : komplikasi yang paling sering terjadi karena
robeknya focus subpleural sehingga tuberkuloprotein yang terdapat dalam
jaringan nekrosis perkejuan masuk ke dalam rongga pleura. Efusi karena MTB
biasanya unilateral.
·
Keganasan : ca paru, ca mammae.
·
Efusi parapneumonia adalah efusi yang menyertai
pneumonia bakteri, abses paru atau bronkiektasis. Terdapat dominan sel PMN.
Tabel 1.
Perbedaan biokimia efusi pleura9
Parameter
|
Transudat
|
Eksudat
|
Warna
|
Jernih
|
Keruh
|
BJ
|
<1,016
|
>1,016
|
Jumlah
sel
Jenis
sel
|
Sedikit
PMN <50%
|
Banyak (>500sel/mm2)
PMN >50%
|
Rivalta
|
-
|
+
|
Glukosa
|
60mg/dL (GD plasma)
|
60mg/dL (bervariasi)
|
Protein
|
<3g/dL
|
>3g/dL
|
Ratio
protein cairan/plasma
|
<0,5
|
>0,5
|
LDH
|
<200IU/dL
|
>200IU/dL
|
Rasio
LDH cairan/plasma
|
<0,6
|
>0,6
|
3.6
PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal, selalu terjadi filtrasi
cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler pada pleura parietalis tetapi
cairan ini segera di reabsorbsi oleh saluran limfe, sehingga terjadi
keseimbangan antara produksi dan reabsorbsi. Setiap harinya diproduksi cairan
pleura
ml yang dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik
dan osmotic kapiler sistemik dengan kapiler pulmoner. Kemampuan untuk
reabsorbsinya dapat meningkat sampai 20 kali. Apabila antara produk dan
reabsorbsinya tidak seimbang, dimana produksi meningkat atau reabsorbsi
menurun, maka akan timbul efusi pleura.12

Patofisiologi terjadinya efusi pleura
tergantung pada keseimbangan antara cairan dan protein dalam rongga pleura.
Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat sebagai filtrasi
melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini terjadi karena perbedaan tekanan
osmotic plasma dan jaringan interstitial submesothelial, kemudian melalui sel
mesothelial masuk ke dalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat
melalui pembuluh limfe sekitar pleura.9
Peningkatan produksi cairan pleura dapat
terjadi pada beberapa keadaan. Diantaranya :9,13
·
Meningkatnya tekanan intravaskuler pada pleura
sehingga meningkatkan pembentukan cairan pleura. Dapat terjadi pada penyakit
gagal jantung kanan, sindroma vena kava cuperior, gagal jantung kiri.
·
Hipoproteinemia yang menyebabkan transudasi
cairan kedalam rongga pleura seperti pada penyakit hati dan ginjal.
·
Obstruksi saluran limfe pada pleura parietalis,
sehingga cairan tidak dapat tersalurkan keluar rongga pleura. Contohnya pada
peningkatan tekanan vena sistemik akan menghambat pengosongan cairan limfe.
·
Robeknya focus kaseosa subpleura ke ruang
pleura pada penyakit TB paru.
·
Adanya perubahan pada permeabilitas membrane
pleura (inflamasi, keganasan, emboli paru).
·
Berkurangnya tekanan pada rongga pleura
sehingga menyebabkan terhambatnya ekspansi paru (atelectasis, mesothelioma).
·
Meningkatnya cairan peritoneal yang disertai
oleh migrasi sepanjang diafragma melalui jalur limfatik ataupun defek
structural (sirosis, dialisa peritoneal).
3.7
MANIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala yang timbul jika cairan bersifat
inflamatoris atau jika mekanika paru terganggu. Gejala yang paling sering
timbul adalah sesak, berupa rasa penuh dalam dada atau dipsnea. Nyeri bisa
timbul akibat efusi yang banyak diikuti dengan batuk yang nonproduktif, nyeri
dada berupa nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul. Adanya gejala-gejala umum
seperti keringat malam, sensasi menggigil, malaise, dan penurunan berat badan.
Dan beberapa gejala-gejala penyerta penyakit penyebab seperti nyeri dada
pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberculosis), berat
badan menurun pada neoplasma, ascites pada sirosis hepatis. Deviasi trachea
menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural
yang signifikan.11
3.8 DIAGNOSA
Dalam menegakkan diagnosis efusi pleura,
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik dahulu, kemudian dilanjutkan
pemeriksaan penunjang.
a.
Anamnesis
Keluhan utama penderita adalah nyeri dada
sehingga penderita membatasi pergerakan rongga dada dengan bernafas pendek atau
tidur miring ke sisi yang sakit. Selain itu sesak nafas terutama bila berbaring
ke sisi yang sehat disertai batuk-batuk dengan atau tanpa dahak. Berat
ringannya sesak nafas ini ditentukan oleh jumlah cairan efusi. Keluhan yang
lain adalah sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.11
b.
Pemeriksaan
fisik
Pada inspeksi
didapatkan pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih cembung. Pada
palpasi gerakan dada yang tertinggal dan fremitus menurun atau menghilang. Perkusi,
didapatkan bagian yang ada cairan didapatkan perkusi redup. Pada auskultasi suara
nafas melemah hingga menghilang
Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan
duduk akan berlainan, karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit
akan kurang bergerak dalam pernafasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada
perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk
garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).
Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang
pada perkusi redup timpani dibagian atas mendorong mediastinum kesisi lain,
pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler melemah dengan rhonki. Pada
permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.11
c.
Pemeriksaan
penunjang
1.
Foto
thoraks (X-Ray)
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga
pleura akan membentuk bayangan kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi
dari pada bagian medial. Cairan dalam pleura bisa juga tidak membentuk kurva,
karena terperangkap atau terlokalisasi. Keadaan ini sering terdapat pada daerah
bawah paru-paru yang berbatasan dengan permukaan atas diafragma. Gambaran sudut
costofrenikus tumpul pada posisi lateral jika cairan lebih dari 50mL. Pada
posisi posteroanterior (PA) sudut costofrenikus tumpul apabila cairan pleura
lebih dari 200mL. Pada posisi anteroposterior (AP) terlihat gambaran efusi jika
cairan lebih dari 300mL.
Hal lain yang dapat terlihat dari foto dada
pada efusi pleura adalah terdorongnya mediastinum pada sisi yang berlawanan
dengan cairan. Di samping itu gambaran foto dada dapat juga menerangkan asal
mula terjadinya efusi pleura yakni bila terdapat jantung yang membesar, adanya
masa tumor, adanya densitas parenkim yang lebih keras pada pneumonia atau abses
paru.
2.
Computed
Tomography Scan (CT Scan)
CT Scan dada akan terlihat adanya perbedaan
densitas cairan dengan jaringan sekitarnya. Pada CT Scan, efusi pleura bebas
diperlihatkan sebagai daerah berbentuk bulan sabit di bagian yang tergantung
dari hemithoraks yang terkena. Permukaan efusi pleura memiliki gambaran cekung
ke atas karena tendensi recoil dari paru-paru.
3.
Ultrasonografi
Pemeriksaan dengan ultrasonografi pada pleura
dapat menentukan adanya cairan dalam rongga pleura. Pemeriksaan ini sangat
membantu sebagai penuntun waktu melakukan aspirasi cairan terutama pada efusi
yang terlokalisasi.
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat membantu dalam mengevaluasi etiologi
efusi pleura. Nodularity dan / atau penyimpangan dari kontur pleura, penebalan
pleura melingkar, keterlibatan pleura mediastinal, dan infiltrasi dari dinding
dada dan / diafragma sugestif penyebab ganas kedua pada CT Scan dan MRI.
5.
Thorakosentesis
Aspirasi cairan pleura (thorakosentesis)
sebagai sarana diagnostic maupun terapeutik. Untuk menentukan jenis efusi
transudate atau eksudat dan untuk analisis caira. Pelaksanaannya sebaiknya
dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru sela iga garis
aksilaris posterior dengan jarum abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan
pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspirasi. Aspirasi
lebih baik dikerjakan berulang-ulang dari pada satu kali aspirasi sekaligus
yang dapat menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema paru akut. Edema
paru dapat terjadi karena paru-paru mengembang terlalu cepat. Mekanisme
sebenarnya belum diketahui betul, tapi diperkirakan karena adanya tekanan intra
pleura yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan aliran darah melalui
permeabilitas kapiler yang abnormal.11
Komplikasi lain thorakosintesis adalah
pneumothoraks, hemothoraks, emboli udara yang agak jarang terjadi, dan laserasi
pleura visceralis, tapi biasanya ini akan sembuh sendiri dengan cepat. Bila
laserasinya cukup dalam, dapat menyebabkan udara dari alveoli masuk ke vena
pulmonalis, sehingga terjadi emboli udara.9
Melakukan diagnosis cairan pleura dapat
dilakukan pemeriksaan :
·
Warna
cairan
Biasanya cairan pleura berwarna agak
kekuning-kuningan (serous-santokrom). Bila agak kemerah-merahan, ini dapat
terjadi pada trauma, infark paru, keganasan, dan adanya kebocoran aneurisma
aorta. Bila kuning kehijauan dan agak purulent, ini menunjukan adanya empyema.
Bila merah coklat ini menunjukkan adanya abses karena amuba.9
·
Karakteristik
cairan pleura
Kriteria penentuan efusi pleura tipe eksudat
atau trannsudat dapat dilihat pada kriteria Light. Tipe eksudat, minimal 1
kriteria terpenuhi. Sedangkan transudate, jika semua point tidak terpenuhi,
seoerti berikut ini:11,16
-
protein cairan pleura/serum protein >0,5
-
LDH cairan pleura/LDH serum >0,6
-
LDH cairan pleura: lebih dari 200 IU atau 2/3
batas atas nilai normal di dalam serum

·
Biokimia
Secara biokima diperiksakan juga pada cairan pleura:9
- Kadar
pH dan glukosa. Biasanya merendah pada penyakit-penyakit infeksi, arthritis
reumatodi, dan neoplasma.
- Kadar
amylase, biasanya meningkat pada pantreatitis, dan metastasis adenokarsinoma
·
Sitologi
Pemeriksaan sitology terhadap cairan pleura
sangat penting untuk diagnostic penyakit pleura, terutama bila ditemukan
sel-sel patologis atau dominasi sel-sel tertentu.9
Sel neutrophil :
menunjukan adanya infeksi akut
Sel limfosit : menunjukan
adanya infeksi kronik seperti pleuritis tuberkulosa atau limfoma maligna
Sel mesotel : bila jumlahnya
meningkat, ini menunjukan adanya infark paru. Biasanya juga ditemukan banyak
sel eritrosit.
Sel mesotel maligna : pada mesothelioma.
Sel-sel besar dengan banyak inti : pada
artritis rheumatoid.
Sel L.E :
pada lupus eritematous sistemik.
Sel maligna : pada paru/metastase.
·
Bakteriologi
Biasanya cairan pleura steril, tapi
kadang-kadang dapat mengandung mikroorganisme, apalagi bila cairannya purulent,
(menunjukan empyema). Efusi yang purulent dapat mengandung kuman-kuman yang
aerob atau anaerob. Jenis kuman yang sering ditemukan dalam cairan pleura
adalah: Pneumokokkus, E.coli, Klebsiela,
Pseudomonas, Enterobacter. Pleuritis tuberkulosa, biakan cairan terhadap
kuman tahan asam hanya dapat menunjukkan yang positif sampai 20%-30%.9
·
Adenosine
deaminase (ADA)
Pemeriksaan kadar ADA cairan pleura mudah dan
tidak mahal. ADA merupakan suatu enzim limfosit T predominan yang berperan
sebagai katalisator konversi adenosine dan deoxyadenosine menjadi inosine dan
deoxynosin. ADA adalah suatu penanda yang paling banyak digunakan pada kasus
pleuritis TB. Nilai batasan kadar ADA cairan pleura yang banyak digunakan
adalah 40U/L. Pemeriksaan ADA memiliki hasil positif palsu pada efusi pleura
nontuberkulosis meliputi efusi parapneumonia, empyema, dan keganasan. Jika
kadar ADA >70U/L maka diagnosis pleuritis TB dapat ditegakkan dan pleuritis
TB dapat disingkirkan jika kadar ADA <40U/L. Pada kasus kadar ADA antara
40-70U/L, diperlukan biopsy pleura atau torakoskopi untuk menegakkan pleuritis
TB dan menyingkirkan penyakit lain.18
·
Gamma
Interferon /
IFN

Pemeriksaan kadar
IFN sangat efisien untuk membedakan efusi
pleura tuberculosis dan efusi pleura non-tuberkulosis.
IFN adalah sitokin yang dilepaskan dari sel
limfosit T CD4+ yang teraktivasi yang dapat meningkatkan aktivasi
mikrobaktesidal dan makrofag. Pemeriksaan
IFN lebih jarang digunakan dari pada
pemeriksaan ADA karena lenih mahal dan belum ada nilai batasan yang jelas untuk
menegakkan diagnosis pleuritis TB.18



·
Biopsi
pleura
Pemeriksaan histopatologi satu atau beberapa
contoh jaringan pleura dapat menunjukan 50%-75% diagnosis kasus-kasus pleuritis
tuberculosis dan tumor pleura, dan merupakan standar baku diagnosis.
Ditemukannya granuloma pada pleura parietalis menunjukkan pleuritis TB. Jika
granuloma tidak ditemukan, harus dilakukan pemeriksaan BTA pada bahan biopsy
pleura. Lebih dari 95% pasien pleuritis granuloma memiliki tuberculosis. Biopsy
jarang diindikasikan karena diagnosis pleuritis TB dapat dengan mudah
ditegakkan dengan pemeriksaan kadar ADA >70U/L. Biopsi pleura dapat berguna
untuk diagnose pleuritis TB dan menyingkirkan penyakit pleura lainnya jika
kadar ADA 40-70 U/L.9


3.9
PENATALAKSANAAN
Efusi yang terinfeksi perlu segera dikelurakan
dengan memakai pipa intubasi melalui sela iga. Bila cairan pusnya kental
sehingga sulit keluar atau bila empiemanya multilokular, perlu tindakan
operatif. Mungkin sebelumnya dapat dibantu dengan irigasi cairan garam
fisiologi atau larutan antiseptic (betadine). Pengobatan secara sistemik
hendaknya segera diberikan, tetapi ini tidak berarti bila tidak diiringi
pengeluaran cairan yang adekuat. Untuk mencegah terjadinya lagi
efusi pleura setelah aspirasi (pada efusi pleura maligna), dapat dilakukan
pleurodesis yakni melengketnya pleura viseralis dan pleura parietalis. Zat-zat
yang dipakai adalah tetrasiklin (terbanyak dipakai) bleomisin, korinebakterium
parvum, tio-tepa, 5-fluorourasil. Penatalaksanaan berdasarkan
penyakit dasarnya :9,11
a.
Gagal jantung
Pada pasien ini, terapi terbaik dengan
diuretic. Jika setelah pemberian efusi menetap, diagnostic torakosintesis perlu
dilakukan. Selain itu, torakosintesis dilakukan pada efusi satu sisi, disertai
demam, atau nyeri dada pleuritik. Jika nilai NT-proBNP cairan pleura >1500
pg/cc, mengartikan bahwa efusi terjadi karena gagal jantung.
b.
Empyema atau efusi parapneumonia
Berkaitan dengan pneumonia bakteria, abses
paru, bronkiektasis. Terapi pasien ini dengan torakosintesis, pemberian
antibiotic dan drainase.
c.
Hidrothoraks hepatic
Terjadi pada 5% pasien sirosis dan asites
karena perpindahan cairan dari rongga peritoneum ke rongga pleura melalui
lubang kecil di diafragma. Posisi efusi di sebelah kanan.
d.
Pleuritis TB
Disertai gejala demam, penurunan BB, dipsneu,
dan nyeri dada pleuritis. Penatalaksanaan dengan pemberian obat anti TB minimal
9 bulan dan kortikosteroid dosis 0,75-1 mg/kgBB/hari selama 2-3 minggu yang
mana dosis akan diturunkan bertahap, torakosintesis jika terdapat sesak atau
efusi lebih tinggi dari sela iga III.
e.
Kilothoraks
Penyebabnya yang tersering ialah trauma. Hasil dari torakosintesis, akan
terlihat cairan seperti susu dan trigliserida
1,2 mmol/L (100 mg/dL). Penatalaksanaanya
dengan pemasangan chest tube dan
pemberian okreotida. Jika gagal dilakukan pleuroperitone al shunt.

f.
Hemothoraks
Penyebabnya juga tersering pada trauma. Jika
dalam cairan pleura, terlihat darah, perlu dilakukan pemeriksaan hematocrit
cairan pleura. Hasil hematocrit
½ dibandingkan dengan hasil dari darah tepi,
berarti mengarah ke hemothoraks. Tata laksana hemothoraks, yaitu dengan chest tube torakostomi. Bila perdarahan
> 200 ml/jam, torakotomi atau torakoskopi menjadi pilihan pertama.

g.
Keganasan
Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui
lokasi tumor dan jenisnya. Urutan keganasan penyebab efusi pleura mulai dari
yang tersering, antara lain tumor paru, payudara, limfoma, gastrointestinal,
urogenital dan lainnya.
BAB IV
ANALISIS KASUS
Pada kasus ini seorang pasien berinisial Tn. R
berusia 29 tahun tanggal 24 agustus 2016 datang ke Poli Paru RSU AL Dr.
Mintohardjo. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang didapatkan diagnosis pasien ini adalah efusi pleura dextra dengan
diagnose banding pleuropneumonia dan pleuritis TB. Dilihat dari gejala klinis
pasien di mana terdapat nyeri dada pada sebelah kanan seperti ditusuk. Nyeri
dada tidak menjalar dan terasa memberat saat menarik nafas dan batuk. Sesak
terutama dirasakan saat dalam posisi berbaring kemudian pasien batuk-batuk tanpa ada dahak (kering) lalu terasalah nyeri
pada dada kanan sejak 5 hari SMRS. Pasien juga mengeluh adanya keringat pada
malam hari disertai menggigil, kepala terasa pusing, nafsu makan menurun, dan
muntah makanan yang dimakan sejak 1 hari SMRS. Pasien mangatakan dalam 2 bulan
terakhir berat badan mengalami penurunan hingga 10 kg. Dari hasil pemeriksaan
fisik yang telah dilakukan pada saat
pasien datang ke poli, didapatkan gerakan dada sebelah kanan tertinggal yang
diakibatkan cairan dalam rongga pleura yang banyak menghambat paru untuk
mengembang, perkusi redup pada basal paru kanan dikarenakan akumulasi cairan
dalam rongga pleura, serta suara nafas vesicular yang menurun pada basal paru
kanan juga dikarenakan akumulasi cairan pleura sehingga suara nafas yang
terdengar melemah, serta didukung hasil pemeriksaan penunjang seperti rontgen
thoraks yang menunjukkan adanya efusi pleura sisi kanan.
Dalam keadaan normal, cairan dalam rongga
pleura akan terfiltrasi melalui kapiler pada pleura parietalis tetapi cairan
ini segara direabsorpsi oleh saluran limfe, sehingga terjadi keseimbangan
antara produksi dan reabsorbsi. Masuknya cairan ke dalam rongga pleura akan
memperbanyak total cairan rongga pleura dan menyebabkan ketidakseimbangan
antara pembentukan dan absorbsinya.16
Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tanggal
26 agustus 2016 setelah dilakukan tindakan pungsi pleura sebanyak 550cc
didapatkan kesadaran pasien compos mentis, tampak sakit sedang, tekanan darah
110/70mmHg, nadi 76 x/menit, suhu 37,9oC, dan pernafasan 24x/menit.
Pemeriksaan paru didapatkan gerakan dinding dada simetris, perkusi pada basal
paru kanan masih redup dikarenakan mungkin masih adanya akumulasi cairan dalam
rongga pleura, dan suara nafas vesikuler basal kanan sedikit melemah ini juga
akibat dari akumulasi cairan yang masih ada.
Pemeriksaan foto thoraks memperlihatkan masih
terdapat gambaran air fluid level pada hemithoraks kanan. Dari pemeriksaan
analisis cairan pleura di dapatkan kejernihan keruh, warna kuning keruh, jumlah
sel leukosit meningkat, eritrosit dan rivalta positif, PMN menurun, protein
cairan meningkat, LDH lebih dari 2/3 batas atas LDH serum yang menunjukkan
cairan eksudat, serta glukosa cairan sedikit meningkat. Dari hasil ini
menandakan bahwa etiologi dari efusi pleura pada pasien mengarah pada infeksi
bakteri, yaitu bakteri M. Tuberculosa.
Sehingga sebagai tindak lanjut untuk pemberian OAT.
Masuknya kuman TB pada paru awalnya tidak
menimbulkan gejala karena imun tubuh akan menghalangi perkembangan kuman TB
dalam makrofag, namun jika keadaan kesehatan tubuh menurun mengakibatkan system
imun penderita melepaskan kuman TB yang sudah diperangkan tersebut dan dapat
berkembang serta menyebar ke organ lain. Gejala batuk timbul dikarenakan
mekanisme tubuh untuk mengeluarkan jaringan perkejuan dalam sarang pneumonik.
Jika sarang tersebut terletak di subpleural akan menyebabkan robeknya pleura
visceral yang berakibat perkejuan tersebut masuk ke dalam rongga pleura yang di
sebut efusi pleura. Efusi pleura minimal mungkin tidak akan menimbulkan gejala
namun jika proses tersebut berlangsung terus-menerus maka gejala sesak nafas
akan dialami pasien, rongga pleura yang terisi banyak cairan akan menghambat
gerakan paru ipsilateral untuk mengembang sehingga udara yang masuk kedalam
paru menjadi sedikit, dan menimbulkan gejala sesak.17
Penatalaksanaan pada pasien ini dengan menggunakan
obat anti tuberculosis (OAT) 4FDC (Fixed
dose combination) yang terdiri dari 4 macam obat INH, rifampisin,
pirazinamid, dan etambutol dalam 1 kemasan sebanyak 5 tablet yang di minum
setiap hari selama 2 bulan dan untuk 4 bulan berikutnya menggunakan 2 macam
obat INH dan rifampisin dalam 1 kemasan seminggu tiga kali. Pasien juga
diberikan ambroxol tab sebagai mucolytic agar
dahak dapat di keluarkan, dan Ranitidine untuk mengatasi keluhan gastritis,
ceftriaxone untuk mengobati dan mencegah infeksi yang disebabkan oleh bakteri,
curcuma untuk membantu memelihara kesehatan fungsi hati dan membantu
memperbaiki nafsu makan. Pasien Tn. R ini dirawat inap selama 7 hari dan
dilanjutkan dengan rawat jalan. Hal ini dilakukan karena secara klinis
hemodinamik pasien sudah stabil, pemberian obat dapat dilakukan secara oral,
pasien sudah dapat beraktivitas seperti biasa dan terlihat sehat, serta
keluarga pasien kooperatif untuk terus memberikan pengobatan kepada pasien
selama dirumah.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Khairani R, Syahruddin E, Partakusuma LG.
Karakteristik Efusi Pleura di Rumah Sakit Persahabatan. J Respir Indo
2012;32(3):155-60.
2. Light
RW. Pleural diseases. 5th ed. Baltimore: Wiliams and Wilkins; 2007.
p.412.
3. Mayse
ML. Non malignant pleural effusions. In: Fishman AP, editor. Fishman’s
pulmonary diseases and disorders. 4th ed. New York: Mc Graw Hill.
2008;1487-504.
4. Marel M.
Epidemiology of pleural effusion. Eur Respir Mon. 2002;22:146-56.
5. Syahruddin
E, Hudoyo A, Arief N. Efusi Pleura Ganas pada Kanker Paru. Jakarta: Departemen
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI. 2004.
6. Moore
KL, Dalley AF, Agur AMR, et al. Clinically Oriented Anatomy. 6th ed.
Baltimore: Lippincott Williams and Wilkins; 2010.p.72-180.
7. Pratomo
IP, Yunus F. Anatomi dan Fisiologi Pleura. Vol 40. No 6. Jakarta: RSUP
Persahabatan. 2013:407-12.
8. Antony
VB. Immunological mechanism in pleural disease. Eur Respir J. 2003;21:539-44.
9. Halim H.
Penyakit-penyakit Pleura. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M
Setiati S. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid III. Jakarta: Interna
Publishing; 2014. h.2329-36.
10. Washko
GR, O’Donnell CR, Loring SH. Volume-related and Volume-independent effects of
posture on esophageal and transpulmonary pressures in healthy subjects. J Appl
Physiol. 2006;100:753-8.
11. Wardhani
DP, Uyainah A. Efusi Pleura. Dalam: Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA.
Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV, Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius;
2014. h. 811-3.
12. Thabrani
R, Prof. Dr. H. Penyakit pleura. Edisi I. Jakarta: Trans Info Media; 2010.
13. Rubins
J, Byrd RP, Manning HL. Pleural Effusion. 2016. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/299959-overview#showall.
Accesed at August, 27th 2016.
14. Danusantoso
H, Dr. Efusi Pleura. Dalam: Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Edisi II. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010;(14):281-94.
15. Price,
Sylvia A, Lorraine M, Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit . Vol 2. Ed 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005.
16. Light
RW. Pleural effusion. Available at : http://www.merckmanuals.com/professional/pulmonary-disorders/mediastinal-and-pleural-disorders/pleural-effusion#v922991.
Accesed at September, 5th 2016.
17. Perhimpunan
Dokter Paru. Pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indonesia. Available at
: http://klikpdpi.com/konsensus/Xsip/tb.pdf.
Accesed at September, 8th 2016.
18.
Wesnawa MADP. Diagnosis dan Tatalaksana
Pleuritis Tuberkulosis. CDK-240;2016.h.341-5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar